Sunday, December 10, 2017

Tasawuf Akhlaki, Konsep dan Tokohnya



TASAWUF AKHLAKI
KONSEP DAN TOKOHNYA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlaq Tasawuf
yang diampu oleh Bapak MOCH. CHOLID WARDI, M.H.I.










Disusun Oleh :
Moh Azizurrohman
Nur Rizal R. H.
R. Farnas Fahmi


  

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Bismillaahir-rohmaanir-rohiim

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun mampu  menyelesaikan makalah dengan judul “Tasawuf Akhlaki: Konsep dan Tokohnya” ini dengan baik.
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, walaupun kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat yang terbaik. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin...

Wassalamu’alaikum wr.wb.




Pamekasan, 29 September 2017
Penyusun


  Kelompok V






Penyusun

 
 







DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB  I    PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A.  Latar Belakang.................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah............................................................................... 1
C.  Tujuan Penulisan................................................................................. 1
D.  Manfaat Penulisan.............................................................................. 1
BAB  II   PEMBAHASAN..................................................................................... 2
A.  Pengertian Tasawuf Akhlaki............................................................... 2
B.  Ajaran Tasawuf Akhlaki..................................................................... 3
C.  Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki.......................................................... 8
BAB  III. PENUTUP............................................................................................. 18
A.  Kesimpulan....................................................................................... 18
B.  Saran................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19













BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagai sebuah ajaran, tasawuf muncul pada zaman Rasulullah SAW, sebab misi kerasulannya meliputi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keyakinan/ keimanan (Aqidah), ibadah dan Akhlak.
Akhlak sebagai bagian ajaran Rasulullah SAW ditanamkan di seluruh sahabat beliau dengan melalui pembelajaran dan pembinaan yang disertai dengan contoh dari beliau. Pengajaran dan pendidikan di masa Rasulullah SAW dilakukan dengan melalui internalisasi nilai-nilai ajaran al Qur’an dan al Hadist. Terdapat banyak ayat yang menerangkan betapa pentingnya seorang Muslim mempunyai akhlak yang mulia baik kaitannya hidup sebagai pribadi, sebagai hamba Allah SWT. Dan sebagai anggota masyarakat.
Ajaran-ajaran inilah yang nantinya menjadi ajaran-ajaran tasawuf yang diamalkan oleh kaum Muslim khususnya kaum Sufi.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang di maksud tasawuf akhlaki ?
2.    Bagaimana tahap-tahap pembinaan dan ajaran tasawuf akhlaki ?
3.    Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf akhlaki ?
C.    TUJUAN PENULISAN
1.   Mengetahui pengertian tasawuf akhlaki.
2.   Mengetahui tahap-tahap pembinaan dan ajaran tasawuf akhlaki.
3.   Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf akhlaki.
D.    MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini untuk mengetahui ajaran-ajaran tasawuf, terutama pada tasawuf akhlaki. Setelah membaca makalah ini diharapkan kita dapat menerapkan, mengamalkan, dan mempraktekan ajaran-ajaran taswuf, sebagai dasar pola hidup sederhana. Serta dapat melakukan hubungan yang baik antara sesama manusia, sesama lingkungan, dan kepada tuhannya. 

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN TASAWUF AKHLAKI
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah. Frase atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus. Dua kata itu adalah “tasawuf” dan “akhlak”.
Arti dari kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah membersihkan atau saling membersihkan. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek dari tasawuf ini adalah akhlak manusia. Kemudian “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yang secara bahasa bermakna perbuatan atau penciptaan.
Jika kata tasawuf dengan kata akhlak disatukan, dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.[1]
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus mengidentifikasi eksitensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan-tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli, tahali, dan tajalli.



B.     AJARAN TASAWUF AKHLAKI
Bagian terpenting dari tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantar seseorang ke hadirat Allah SWT. hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah yang suci. Segala sesuatu itu harus sempurna dan suci. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama, teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan prilaku.
Sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental seorang dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan kehidupan duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar jembatan. Dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan utama dalam melakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya, yaitu hawa nafsu. Menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak.
Metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Pada tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diperlukan melakukan amalan dan kerohanian yang cukup berat.
Dalam tasawuf akhlaki, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.

1.        Takhalli
Takhalli adalah langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengsongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha mendorong melenyapkan hawa nafsu.
Menurut kaum sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata. Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.
Membersihkan diri dari sifat tercela, oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat-sifat ini merupakan najis maknawi (najazah ma’nawiyyah). Adanya najis-najis ini pada seseorang, menyebabkan tidak dapat dekat dengan tuhan. Hal ini sebagaimana mempunyai najis dzat (najazah dzatiyyah), yang menyebabkan seseorang tidak dapat beribadah kepada Tuhan.
Dalam menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi dan mematikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi, yaitu sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu, cukup sekedar “dikuasai” melalui pengaturan disiplin kehidupan.
Sementara itu, sekelompok sufi yang ekstrem berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh kelangsungan cita-cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karena itu, nafsu yang bertendensi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.


2.        Tahalli
Tahalli ialah upaya menghiasi diri dengan akhak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun bersifat dalam. Kewajiban yang bersifat luar adalah kewajiban yang yang bersifat formal, seperti shalat, puasa, dan haji. Adapun yang bersifat dalam, contohnya yaitu, iman, taat, dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Sebab apabila suatu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, segala perbuatan dan tindakannya akan selalu berdasarkan niat yang ikhlas akan beribadah kepada Allah SWT.
Menurut Al-Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk dengan kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna. Perbuatan baik itu antara lain sebagai berikut.
a.         Taubat
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai penghentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkatan terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan anggota badan. Pada tingkat menengah, tobat menyangkut pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya’. Pada tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.[2]
b.        Khauf dan Raja’ (Cemas dan Harap)
Sikap mental rasa cemas (khauf) dan harap (raja’), merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada Hasan Al-Bashri (wafat tahun 110 H). Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai terhadap Allah. Karena sering menyadari kekurangannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa takut, khawatir kalau Allah akan murka kepadanya.
Rasa takut itu akan mendorong dirinya untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah. Oleh karena itu ajaran khauf dan raja’ merupakan sikap mental yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan abadi.
c.         Zuhud
Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
Telah terjadi pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Meskipun didefinisikan dengan redaksi berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
d.        Al-Faqr (Fakir)
Istilah al-faqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi.
e.          Ash-Shabru (Sabar)
Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan; pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan hidup yang dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (iradah) Tuhan.
Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan. Karena banyak gangguan jiwa yang mempengaruhi kestabilan jiwa, Al-Ghazali membedakan tingkatan-tingkatan sabar. Ketahanan mental dihadapkan pada penanggulangan hawa nafsu kemampuan mengatasinya disebut “iffah”. Kesanggupan diri agar tidak marah disebut “hilm”. Ketabahan hati untuk menerima nasib disebut “qanaah”, sedangkan yang disebut pantang menyerah dan satria dikatakan “syaja’ah”.
f.         Rida
Sikap mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah rida mengandung pengertian menerima lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang dari Allah, baik menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.
g.        Muraqabah
Seorang calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Ia tahu dan sadar bahwa Allah memandang kepadanya. Muraqabah mempunyai arti mirip dengan intropeksi diri atau sel correction. Dengan kalimat populer dapat diartikan muraqabah setiap saat siap dan siaga meneliti keadaan diri sendiri.
3.        Tajalli
Tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa  dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir- butir mutiara akhlak dan terbiasa melakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa Ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[3]
Dalam rangka pembinaan jiwa yang berusaha mengosongkan diri dari sifat tercela dan keji serta melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itu mengisi dirinya dengan sifat-siat terpuji dan dalam rangka ibadah. Seluruh hati semata-mata diupayakan untuk memperoleh tajalli dan menerima pancaran nur Ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hamba-Nya dengan nur-Nya, maka berlimpahruahlah rahmat dan karunia-Nya. Pada tingkat ini seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang-benderang, dadanya lapang, dan terungkapnya tabir rahasia alam malakut. Pada saat itu, jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh kotoran jiwa.

C.    TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAKI
1.      Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang amat masyur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Dia-lah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itupun mengakuim kebesarannya.
Karier pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama di sana. Bersama Ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.
Disamping dikenal sebagai seorang zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya, ada yang berisi ancaman terhadap aliran kalam Qadariyyah.
·           Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah menolak segala kenikmatan duniawi. Hasan Al-Bashri mengumpamakan dunia ini seperti ular; terasa mulus kalau disentuh, tetapi racunya mematikan. Oleh sebab itu, dunia ini harus dijauhi. Begitu juga dengan kemegahannya, harus ditolak. Prinsip yang kedua ajaran Hasan Al-Bashri adalah khauf dan raja’, dengan perasaan takut terhadap siksa Allah karena berbuat dosa dan melalaikan perintah-Nya. Hasan Al-Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut itu sama dengan memetik amal shaleh. Kesimpulan ajaran Hasan Al-Bashri adalah zuhud sehingga perhatian terpusat pada akhirat.
Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut.
a.       Perasaan takut yang membuat hatimu tenteram lebih baik daripada tenteram yang menimbulkan rasa takut.
b.      Dunia adalah tempat beramal.
c.       Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
d.      Dunia ini adalah ibarat janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati suaminya.
e.       Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore karena berada di antara perasaan takut.
f.       Hendaklah seseorang merasa takut akan kematian yang mengancam dan takut akan kiamat.
g.      Banyak dukacita di dunia memperteguh amal shaleh.
Menurut Muhammad Mustafa, guru besar filsafat Islam, kemungkinan tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan dineraka. Namun, setelah diteliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasarinya, melainkan kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya.[4]
2.      Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harist bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H (781 M), dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H (857 M). Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadist, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa, dan sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama di Baghdad.
Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari jalan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat Islam. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. Namun, jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Dan terdapat pula orang-orang yang terkesan sedang melakukan beribadah karena Allah, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewaiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Tatkala sudah melaksanakan hal-hal di atas menurutnya seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawwuf.
·           Ajaran-Ajaran Tasawuf
1.        Makrifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang makrifat. Ia menulis sebuah buku tentangnya. Namun, dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak dapat sekali-kali mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan keraguan. Al-Muhasibi mengatakan bahwa makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan kepada kitab dan sunnah.
Ia menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut.
a.       Taat, kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan sementara orang. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar, yang kemudian akan melimpah pada lidah dan anggota  tubuh yang lain.
b.      Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahapan makrifat selanjutnya.
c.       Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d.      Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara orang sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2.        Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf dan raja’ menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan kedua sifat diatas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainya. Pangkal wara’ menurutnya, adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri; pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja’;pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan dan panji ancaman Allah; sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan dengan janji serta ancaman Allah.
3.      Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya karyanya tentang para sufi dan tasawuf dan aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Dan dari gurunya itulah, Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqh pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bkr bin Farauk. Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini dan menelaah banyak karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah wal jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah.
Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu “mengompromikan syariat dengan hakikat”. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
·         Ajaran-Ajaran Tasawufnya
1.        Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji dengan mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah.
Dalam ungkapan Al-Qusyairi terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.
2.        Kesehatan Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang-teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah.
3.      Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriyah. Pendapat Al-Qusyairi itu memang tampak berlebihan. Namun, hal tersebut menunjukkan bahwa tasawuf pada masa itu telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi aqidah maupun moral.
Oleh karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika melihat hal-hal yang menimpa tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya, hanya “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, harus merujuknya pada doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni abab-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang sebagaimana diriwayatkan dalam Ar-Risalah.
4.        Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghhazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, waktu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450H/1058M., tiga tahun kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah, ia berguru kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, fisafat, tasawuf, dan retorika perdebatan.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, serta memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi populer, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati Imam Haramain timbu rasa iri sehingga sampai mengatakan :
“Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati.”
Setelah Imam Haramain wafat, Al-Ghazali pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk dan juga merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing utu melibatkan diri dalam perdebatan itu. Ternyata, ia sering mengalahkan ulama ternama, sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak saat itu, nama Al-Ghazali menjadi termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk. Hal itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untu menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483H./1090M., meskipun usianya baru 32 tahun. Ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, timbul pergolakan dalam dirinya karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya untuk meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran. Seteah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111M.
·         Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan banyak tuhan, sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Menurut Al-Ghazali, dalam menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela. Sehingga kalbu dapat terlepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia pun berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai saran untuk mengolah rasa dan mengolah jiwa, sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan sa’adah.
1.      Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengar sirr, qalb, dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasif) dari Allah. Pada waktu itu pula lah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat hanyalah Allah. Disini, sampailah ke tingkat makrifat.
Makrifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam maupun makrifat ulama mutakallim, tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyif ilahi. Makrifat seperti ini dapat dicapai oleh para khawash auiya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat imu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
2.        As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabi’at), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nimatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demkian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan yang lain.
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hillang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[5]

























BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan.
    Bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
           Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.

B.     SARAN
Dalam makalah yang kami paparkan telah tampak bagaimana agar kita untuk menerapkan tentang ajaran tasawuf di kehidupan kita. Hendaknya kita pembaca diharapkan dapat memetik ilmu dari makalah yang kami paparkan untuk menjadi insan yang lebih baik dalam beribadah kepada Allah SWT.



DAFTAR PUSTAKA

·  Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015
·  Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010
·  Solihin, M. dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008



[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 229
[2] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 209
[3] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 116
[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 220
[5] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 125

No comments:

Post a Comment

Tasawuf Irfani, Konsep dan Tokohnya

MAKALAH TASAWUF IRFANI : (Konsep dan Tokohnya) Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahAkhlaqTasawuf Dosen Pengampu: Moch. Cho...