TASAWUF AKHLAKI
KONSEP DAN TOKOHNYA
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlaq Tasawuf
yang
diampu
oleh Bapak MOCH. CHOLID WARDI, M.H.I.
Disusun
Oleh :
Moh Azizurrohman
Nur Rizal
R. H.
R. Farnas
Fahmi
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH AGAMA ISLAM
NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bismillaahir-rohmaanir-rohiim
Alhamdulillah segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah dengan judul “Tasawuf
Akhlaki: Konsep dan Tokohnya” ini dengan baik.
Dengan
terselesaikannya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat
kekurangan, walaupun kami sudah berusaha semaksimal
mungkin untuk membuat yang terbaik. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat. Amin...
Wassalamu’alaikum wr.wb.
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 1
D. Manfaat Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 2
A. Pengertian Tasawuf Akhlaki............................................................... 2
B. Ajaran Tasawuf Akhlaki..................................................................... 3
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki.......................................................... 8
BAB III. PENUTUP............................................................................................. 18
A. Kesimpulan....................................................................................... 18
B. Saran................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai sebuah ajaran, tasawuf muncul pada zaman Rasulullah SAW,
sebab misi kerasulannya meliputi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keyakinan/
keimanan (Aqidah), ibadah dan Akhlak.
Akhlak sebagai bagian ajaran Rasulullah SAW ditanamkan di seluruh
sahabat beliau dengan melalui pembelajaran dan pembinaan yang disertai dengan
contoh dari beliau. Pengajaran dan pendidikan di masa Rasulullah SAW dilakukan
dengan melalui internalisasi nilai-nilai ajaran al Qur’an dan al Hadist.
Terdapat banyak ayat yang menerangkan betapa pentingnya seorang Muslim
mempunyai akhlak yang mulia baik kaitannya hidup sebagai pribadi, sebagai hamba
Allah SWT. Dan sebagai anggota masyarakat.
Ajaran-ajaran inilah yang nantinya menjadi ajaran-ajaran tasawuf
yang diamalkan oleh kaum Muslim khususnya kaum Sufi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang di maksud tasawuf akhlaki ?
2.
Bagaimana
tahap-tahap pembinaan dan ajaran tasawuf akhlaki ?
3.
Siapa
saja tokoh-tokoh tasawuf akhlaki ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui
pengertian tasawuf akhlaki.
2.
Mengetahui
tahap-tahap pembinaan dan ajaran tasawuf akhlaki.
3.
Mengetahui
tokoh-tokoh tasawuf akhlaki.
D.
MANFAAT PENULISAN
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini untuk mengetahui ajaran-ajaran tasawuf,
terutama pada tasawuf akhlaki. Setelah membaca makalah ini diharapkan kita
dapat menerapkan, mengamalkan, dan mempraktekan ajaran-ajaran taswuf, sebagai
dasar pola hidup sederhana. Serta dapat melakukan hubungan yang baik antara
sesama manusia, sesama lingkungan, dan kepada tuhannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TASAWUF AKHLAKI
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk
frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah. Frase
atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu
kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus. Dua kata itu
adalah “tasawuf” dan “akhlak”.
Arti dari kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah membersihkan atau
saling membersihkan. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja transitif yang
membutuhkan objek. Objek dari tasawuf ini adalah akhlak manusia. Kemudian
“akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yang secara bahasa bermakna perbuatan
atau penciptaan.
Jika kata tasawuf dengan kata akhlak disatukan, dua
kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara
etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan tingkah laku. Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian
ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa
teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu
kehidupan manusia.[1]
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental
dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang
optimal. Manusia harus mengidentifikasi eksitensi dirinya dengan ciri-ciri
ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih
dahulu pembentukan pribadi yang berakhlak mulia. Tahapan-tahapan itu dalam ilmu
tasawuf dikenal dengan takhalli, tahali, dan tajalli.
B.
AJARAN TASAWUF AKHLAKI
Bagian terpenting dari tasawuf
adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar
berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan
dan kebahagiaan yang hakiki.
Semua sufi berpendapat bahwa
satu-satunya jalan yang dapat menghantar seseorang ke hadirat Allah SWT. hanyalah
dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari
pada Dzat Allah yang suci. Segala sesuatu itu harus sempurna dan suci. Untuk mencapai
tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan
mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama, teori dan amalan
tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan prilaku.
Sejalan dengan tujuan hidup tasawuf,
para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat
spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental
seorang dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi
sependapat bahwa kenikmatan kehidupan duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar
jembatan. Dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan utama dalam
melakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya, yaitu hawa
nafsu. Menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap
kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak.
Metode yang ditempuh para sufi
adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Esensi cinta kepada Tuhan
adalah melawan hawa nafsu. Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi
sikap mental diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Pada tahap
awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diperlukan melakukan amalan dan
kerohanian yang cukup berat.
Dalam tasawuf akhlaki, sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.
1.
Takhalli
Takhalli adalah langkah pertama yang
harus dijalani seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengsongkan diri dari
perilaku atau akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak
membawa pengaruh terhadap timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan
pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha mendorong melenyapkan hawa
nafsu.
Menurut kaum sufi, kemaksiatan pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin.
Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir,
seperti tangan, mulut, dan mata. Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang
diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.
Membersihkan diri dari sifat
tercela, oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat-sifat ini merupakan najis
maknawi (najazah ma’nawiyyah). Adanya najis-najis ini pada seseorang,
menyebabkan tidak dapat dekat dengan tuhan. Hal ini sebagaimana mempunyai najis
dzat (najazah dzatiyyah), yang menyebabkan seseorang tidak dapat beribadah
kepada Tuhan.
Dalam menanamkan rasa benci terhadap
kehidupan duniawi dan mematikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat.
Sekelompok sufi modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi,
yaitu sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi
sama sekali. Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu, cukup sekedar
“dikuasai” melalui pengaturan disiplin kehidupan.
Sementara itu, sekelompok sufi yang
ekstrem berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh
kelangsungan cita-cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan,
karena itu, nafsu yang bertendensi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan
menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.
2.
Tahalli
Tahalli ialah upaya menghiasi diri
dengan akhak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan
jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak
perilaku berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar
maupun bersifat dalam. Kewajiban yang bersifat luar adalah kewajiban yang yang
bersifat formal, seperti shalat, puasa, dan haji. Adapun yang bersifat dalam,
contohnya yaitu, iman, taat, dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli merupakan tahap pengisian
jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Sebab apabila suatu kebiasaan
telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat
menimbulkan frustasi. Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat
yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, segala perbuatan dan
tindakannya akan selalu berdasarkan niat yang ikhlas akan beribadah kepada
Allah SWT.
Menurut Al-Ghazali, jiwa manusia
dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk dengan kehendak manusia itu
sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa manusia dan
dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna. Perbuatan baik itu
antara lain sebagai berikut.
a.
Taubat
Kebanyakan sufi menjadikan taubat
sebagai penghentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkatan terendah, tobat
menyangkut dosa yang dilakukan anggota badan. Pada tingkat menengah, tobat
menyangkut pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya’. Pada tingkat
yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan
menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti
penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat
ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan
Allah.[2]
b.
Khauf
dan Raja’ (Cemas dan Harap)
Sikap mental rasa cemas (khauf) dan
harap (raja’), merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada
Hasan Al-Bashri (wafat tahun 110 H). Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas
atau takut adalah perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering
lalai terhadap Allah. Karena sering menyadari kekurangannya dalam mengabdi
kepada Allah, timbullah rasa takut, khawatir kalau Allah akan murka kepadanya.
Rasa takut itu akan mendorong
dirinya untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’),
ampunan dan anugerah Allah. Oleh karena itu ajaran khauf dan raja’ merupakan
sikap mental yang bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan
kehidupan yang akan datang, yaitu kehidupan abadi.
c.
Zuhud
Sesuai dengan pandangan sufi, hawa
nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Ia harus zuhud
terhadap dunia, yaitu meninggalkan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh
materi.
Telah terjadi pemahaman dan
penafsiran yang beragam terhadap zuhud. Namun, secara umum zuhud dapat
diartikan suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap
kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Meskipun didefinisikan
dengan redaksi berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan
kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
d.
Al-Faqr
(Fakir)
Istilah al-faqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang
dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta
sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat
dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi.
e.
Ash-Shabru (Sabar)
Sabar diartikan sebagai suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak
tergoyahkan; pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan hidup yang
dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah. Sikap sabar dilandasi oleh
anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (iradah) Tuhan.
Tercapainya karakter sabar merupakan
respon dari keyakinan yang dipertahankan. Karena banyak gangguan jiwa yang
mempengaruhi kestabilan jiwa, Al-Ghazali membedakan tingkatan-tingkatan sabar.
Ketahanan mental dihadapkan pada penanggulangan hawa nafsu kemampuan
mengatasinya disebut “iffah”. Kesanggupan diri agar tidak marah disebut “hilm”.
Ketabahan hati untuk menerima nasib disebut “qanaah”, sedangkan yang
disebut pantang menyerah dan satria dikatakan “syaja’ah”.
f.
Rida
Sikap mental rida merupakan
kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah rida
mengandung pengertian menerima lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja
yang dari Allah, baik menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama
maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.
g.
Muraqabah
Seorang calon sufi sejak awal sudah
diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Ia tahu dan
sadar bahwa Allah memandang kepadanya. Muraqabah mempunyai arti mirip dengan
intropeksi diri atau sel correction. Dengan kalimat populer dapat diartikan
muraqabah setiap saat siap dan siaga meneliti keadaan diri sendiri.
3.
Tajalli
Tajalli bermakna terungkapnya nur
ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir- butir mutiara
akhlak dan terbiasa melakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa Ketuhanan
perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum
dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.[3]
Dalam rangka pembinaan jiwa yang berusaha
mengosongkan diri dari sifat tercela dan keji serta melepaskan segala sangkut
paut dengan dunia. Setelah itu mengisi dirinya dengan sifat-siat terpuji dan
dalam rangka ibadah. Seluruh hati semata-mata diupayakan untuk memperoleh
tajalli dan menerima pancaran nur Ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati
hamba-Nya dengan nur-Nya, maka berlimpahruahlah rahmat dan karunia-Nya. Pada
tingkat ini seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang-benderang, dadanya
lapang, dan terungkapnya tabir rahasia alam malakut. Pada saat itu,
jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh kotoran jiwa.
C.
TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAKI
1.
Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya
Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang amat masyur di kalangan
tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis
bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum
khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Dia-lah yang mula-mula menyediakan
waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan
usaha menyucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian
senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang masih hidup
pada zaman itupun mengakuim kebesarannya.
Karier pendidikan Hasan Al-Bashri
dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama di sana. Bersama
Ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyur dengan
nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.
Disamping dikenal sebagai seorang
zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam
memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya, ada yang berisi ancaman
terhadap aliran kalam Qadariyyah.
·
Ajaran-Ajaran
Tasawufnya
Dasar pendiriannya yang paling utama
adalah menolak segala kenikmatan duniawi. Hasan Al-Bashri mengumpamakan dunia
ini seperti ular; terasa mulus kalau disentuh, tetapi racunya mematikan. Oleh
sebab itu, dunia ini harus dijauhi. Begitu juga dengan kemegahannya, harus
ditolak. Prinsip yang kedua ajaran Hasan Al-Bashri adalah khauf dan raja’,
dengan perasaan takut terhadap siksa Allah karena berbuat dosa dan
melalaikan perintah-Nya. Hasan Al-Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut itu
sama dengan memetik amal shaleh. Kesimpulan ajaran Hasan Al-Bashri adalah zuhud
sehingga perhatian terpusat pada akhirat.
Hamka mengemukakan sebagian ajaran
tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut.
a.
Perasaan
takut yang membuat hatimu tenteram lebih baik daripada tenteram yang
menimbulkan rasa takut.
b.
Dunia
adalah tempat beramal.
c.
Tafakur
membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
d.
Dunia
ini adalah ibarat janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati
suaminya.
e.
Orang
yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore karena berada di
antara perasaan takut.
f.
Hendaklah
seseorang merasa takut akan kematian yang mengancam dan takut akan kiamat.
g.
Banyak
dukacita di dunia memperteguh amal shaleh.
Menurut Muhammad Mustafa, guru besar
filsafat Islam, kemungkinan tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut
siksa Tuhan dineraka. Namun, setelah diteliti ternyata bukan perasaan takut
terhadap siksaanlah yang mendasarinya, melainkan kebesaran jiwanya akan
kekurangan dan kelalaian dirinya.[4]
2.
Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah
Al-Harist bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Tokoh sufi ini dikenal
dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H (781
M), dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H (857 M). Ia adalah sufi dan
ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadist, dan
fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri
terhadap perbuatan dosa, dan sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang
dilakukannya. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang
sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H),
yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama di Baghdad.
Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf
karena hendak keluar dari jalan yang dihadapinya. Tatkala mengamati
madzhab-madzhab yang dianut umat Islam. Di antara mereka ada sekelompok orang
yang tahu benar tentang keakhiratan. Namun, jumlah mereka sangat sedikit.
Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena
kesombongan dan motivasi keduniaan. Dan terdapat pula orang-orang yang terkesan
sedang melakukan beribadah karena Allah, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan
keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan
kewajiban-kewaiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Tatkala sudah
melaksanakan hal-hal di atas menurutnya seorang akan diberi petunjuk oleh Allah
berupa penyatuan antara fiqh dan tasawwuf.
·
Ajaran-Ajaran
Tasawuf
1.
Makrifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang
makrifat. Ia menulis sebuah buku tentangnya. Namun, dikabarkan bahwa ia tidak
diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam
menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak dapat sekali-kali mendalami
pengertian batin agama yang dapat mengaburkan keraguan. Al-Muhasibi mengatakan
bahwa makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan kepada
kitab dan sunnah.
Ia menjelaskan tahapan-tahapan
makrifat sebagai berikut.
a.
Taat,
kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan
sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan
sementara orang. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi
hati dengan sinar, yang kemudian akan melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b.
Aktivitas
anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan
tahapan makrifat selanjutnya.
c.
Allah
menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang
telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang
selama ini disimpan Allah.
d.
Tahap
keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara orang sufi dengan fana’
yang menyebabkan baqa’.
2.
Khauf
dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf
dan raja’ menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan
jiwa. Ia mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya,
yakni, ketika disifati dengan kedua sifat diatas, seseorang secara bersamaan
disifati pula dengan sifat-sifat lainya. Pangkal wara’ menurutnya, adalah
ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri; pangkal intropeksi diri
adalah khauf dan raja’;pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan dan panji
ancaman Allah; sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’ dapat dilakukan
dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan
dengan janji serta ancaman Allah.
3.
Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah seorang
tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting
mengingat karya karyanya tentang para sufi dan tasawuf dan aliran Sunni pada
abad ketiga dan keempat Hijriah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah
tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah
‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah
satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya,
Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Dan dari gurunya itulah, Al-Qusyairi
menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari
syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqh pada seorang faqih,
Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi dan mempelajari ilmu kalam serta ushul
fiqh pada Abu Bkr bin Farauk. Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini
dan menelaah banyak karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-Qusyairi berhasil
menguasai doktrin Ahlussunnah wal jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari
dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran tersebut dalam
menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah.
Al-Qusyairi adalah seorang yang
mampu “mengompromikan syariat dengan hakikat”. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
·
Ajaran-Ajaran
Tasawufnya
1.
Mengembalikan
Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Seandainya karya Al-Qusyairi,
Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji dengan mendalam, akan tampak jelas
bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin
Ahlus Sunnah.
Dalam ungkapan Al-Qusyairi
terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat
ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan,
khususnya sifat baharunya.
2.
Kesehatan
Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam
keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian
orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan
dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan
berpegang-teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian
lahiriah.
3.
Penyimpangan
Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu
penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriyah. Pendapat Al-Qusyairi itu
memang tampak berlebihan. Namun, hal tersebut menunjukkan bahwa tasawuf pada
masa itu telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi
aqidah maupun moral.
Oleh karena itu pula, Al-Qusyairi
menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika
melihat hal-hal yang menimpa tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan
salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan
sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya, hanya “pengobat keluhan” atas
apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas tampak jelas
bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, harus merujuknya pada
doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam hal ini ialah dengan
mengikuti para sufi Sunni abab-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang
sebagaimana diriwayatkan dalam Ar-Risalah.
4.
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghhazali. Ia dipanggil
Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, waktu kota di Khurasan, Iran.
Pada tahun 450H/1058M., tiga tahun kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di
Baghdad.
Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh
kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah
tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah, ia berguru kepada Imam Haramain
hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, fisafat, tasawuf,
dan retorika perdebatan.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari
Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli
ilmu tersebut, serta memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya
menjadi populer, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati
Imam Haramain timbu rasa iri sehingga sampai mengatakan :
“Engkau telah memudarkan ketenaranku
padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku
telah mati.”
Setelah Imam Haramain wafat,
Al-Ghazali pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk
dan juga merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya
perdebatan-perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang
menguasai retorika perdebatan, ia terpancing utu melibatkan diri dalam
perdebatan itu. Ternyata, ia sering mengalahkan ulama ternama, sehingga mereka
pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak saat itu, nama Al-Ghazali menjadi
termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk. Hal itu menyebabkannya dipilih oleh
Nizham Al-Muluk untu menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad,
pada tahun 483H./1090M., meskipun usianya baru 32 tahun. Ia juga aktif
mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Di balik kegiatan perdebatan dan
penyelaman berbagai aliran, timbul pergolakan dalam dirinya karena tidak ada
yang memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan
jabatan dan pengaruhnya untuk meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina,
dan kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran. Seteah memperoleh kebenaran
hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan napasnya yang
terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111M.
·
Ajaran-Ajaran
Tasawufnya
Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah
wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan kecenderungan gnostis
yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan
Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan banyak tuhan, sehingga dapat dikatakan bahwa
tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Menurut Al-Ghazali, dalam menuju
tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta
membersihkan diri dari moral yang tercela. Sehingga kalbu dapat terlepas dari
segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia
pun berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan
hidup mereka yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral
mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir
maupun batin, diambil dari cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya
yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf
sebagai saran untuk mengolah rasa dan mengolah jiwa, sehingga sampai kepada
makrifat yang membantu menciptakan sa’adah.
1.
Makrifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana
dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh
makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun
Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi
bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi
cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengar sirr,
qalb, dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat
itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasif) dari Allah. Pada waktu itu
pula lah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat
hanyalah Allah. Disini, sampailah ke tingkat makrifat.
Makrifat seorang sufi tidak
dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata
kepalanya sendiri. Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti
makrifat menurut orang awam maupun makrifat ulama mutakallim, tetapi makrifat
sufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyif ilahi.
Makrifat seperti ini dapat dicapai oleh para khawash auiya’ tanpa
melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang
diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda
antara nabi dan wali. Nabi mendapat imu Allah melalui perantara malaikat,
sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama
memperoleh ilmu dari Allah.
2.
As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan
kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam
kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu
sesuai dengan watak (tabi’at), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan
ciptaannya. Nimatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah.
Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demkian juga,
seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatannya qalb sebagai
alat memperoleh makrifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan
kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung
dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan yang
lain.
Kelezatan dan kenikmatan dunia
bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangan kelezatan
dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hillang
walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, malah
kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya
terang.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tasawuf adalah sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada
hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang
mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan
sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu
dengan Ruh Tuhan.
Bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat,
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Ibadah dalam
Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi
munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak
baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi
mulia.
Dengan
demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri
mereka pada setiap kali beribadah.
B.
SARAN
Dalam makalah yang kami paparkan telah tampak bagaimana agar kita
untuk menerapkan tentang ajaran tasawuf di kehidupan kita. Hendaknya kita
pembaca diharapkan dapat memetik ilmu dari makalah yang kami paparkan untuk
menjadi insan yang lebih baik dalam beribadah kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
· Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015
· Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010
· Solihin, M. dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2008
[1]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 229
[2] Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 209
[3]
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm. 116
[4] Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 220
[5] M.
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hlm. 125
No comments:
Post a Comment