MAKALAH
TASAWUF
IRFANI : (Konsep dan Tokohnya)
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata KuliahAkhlaqTasawuf
Dosen
Pengampu: Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Oleh:
Nur
Diana Weny Yanti (20170703022155)
Nurul
Aimanah (20170703022162)
Nurul
Imaniyah (20170703022164)
Qurrotul
Aini (20170703022169)
Rahmatul
Fajariah (20170703022172)
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
Kata Pengantar
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Tasawuf Irfani” dengan tepat waktu. Makalah ini diajukan
untuk memenuhi tugas akhlak tasawuf.
Salawat dan salam kami haturkan
keharibaan Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari alam kejahiliyahan
menuju umat yang beradab dan penuh dengan rasa kemanusiaan dan kecintaan antar
sesama.
Dalam penyusunan makalah ini tidak
sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi. Namun, penulis menyadari
kelancaran penyelesian makalah ini berkat dorongan dan bantuan berbagai pihak
sehingga semua kendala-kendala penulis dapat teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucpkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memperlancar dan
memudahkan penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
2. Moch. Cholid Wardi, M.H.Iselaku pengajar
mata kuliah yang telah memberi tugas ini.
3. Pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah
ini yang jauh dari kata sempurna, akhir kata kepada semua pihak, kritik dan
saran selalu kami nantikan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Pamekasan,
1 Oktober 2017
Penulis
Daftar Isi
HalamanJudul
i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1
C.
Tujuan
1
D. Manfaat
1
BAB
II PEMBAHASAN
2
A. Pengertian Tasawuf Irfani
2
B. Karakteristik Irfani
2
C. Metode-Metode Irfani
3
D. Konsep dan Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
4
BAB
III PENUTUP
15
A. Kesimpulan
15
B. Saran
15
Daftar
Pustaka
16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diera globalisasi
dimana dunia tanpa batas berdampak pada menyebarnya hedonisme yang
mengakibatkan semakin lunturnya nilai-nilai kereligiusan. Hal ini mengakibatkan
kualitas spriritual seseorang menurun sehingga diperlukan pemahaman untuk
mengkaji akhlak tasawuf.
Tasawuf ialah ilmu
untuk mengetahui bagaimana cara untuk menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak,
membangun zahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Inilah
hakikat tasawuf itu sendiri.
Tasawuf bertujuan
untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan sehingga memperoleh
hubungan yang khusus langsung dari Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengasingkan diri dari gemerlap kehidupan dunia. Keberadaan yang dekat dengan
Tuhan akan berbentuk ittihad, yang
menjadi persoalan “sufisme” dalam agama Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan tasawuf irfani?
2.
Bagaimana karakteristik dan metode irfani?
3.
Sebutkan konsep dan tokoh tasawuf irfani?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui, mengenal dan memahami tasawuf irfani.
2.
Untuk mengetahui karakteristik dan metode irfani.
3.
Untuk mengetahui konsep dan tokoh tasawuf irfani.
D.
Manfaat
1.
Dapat mengetahui mengenal dan memahami tasawuf irfani.
2.
Dapat mengetahui karakteristik dan metode irfani.
3.
Dapat mengetahui konsep dan tokoh tasawuf irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Irfani
Irfan secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab ‘arafa yang sinonim dengan kata ma’rifah, yang bermakna suatu
pengetahuan.[1]
lrfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman. Irfani adalah suatu pengetahuan yang diperoleh melalui pencapaian
dan penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba yang menjalani sehingga terbuka
hakekat tersebut (kasyf) melalui
jalur olah rohani atau laku-jiwa yang didasarkan atas nama cinta (mahabbah).
Tasawuf irfani ialah tasawuf yang
berusaha menyikap hakikat kebenaran diperoleh dengan tidak menggunakan logika
atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberitaan Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena
manusia melakukan tasawuf berupaya melakukan tafsiyat al-qalb.
B.
Karakteristik Irfani
Nalar 'irfani berkaitan dengan hati
(qalb) karena wilayah bekerjanya pada dimensi batin. Adapun objek yang
ditangkap nalar ‘irfani bersifat lebih abstrak; seperti rasa cinta, benci,
kecewa, dan bahagia.[2]
Pengetahuan ‘irfani didasarkan pada kasyf,
di mana dialaminya suatu pengalaman ketersingkapan rahasia-rahasia realitas
oleh Tuhan.[3] Pengetahuan irfani diperoleh berdasarkan berdasarkan atas
terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika qalb (hati)
sebagai sarana pencapaian pengetahuan irfan siap untuk menerimanya. Untuk itu,
diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang mampu menerima
limpahan pengetahuan secara langsung tersebut. Persiapan yang dimaksud, adalah
bahwa seseorang harus menempuh perjalanan spiritual lewat “tahapan-tahapan
tertentu” (maqâm) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu (hâl)
[4].
Sumber dari nalar ‘irfani adalah realitas pengalaman (experience) yang
ditemukan langsung oleh sufi sebagai kelompok pendukung keilmuan dalam sistem
nalar ini.
Dengan demikian, telah jelas bahwa
kekhasan nalar ‘irfani ini terletak pada sifatnya yang langsung. Mengenai
karakter darisifat langsung ’irfani dalam menangkap objeknya ini kemudian dapat
dianalisis ke dalam beberapa hal;
1.
Pengetahuan ‘irfani bisa dicapai melalui pengalaman.
2.
Sifat langsung pengetahuan ‘irfani bisa dilihat dari apa yang
sering disebut sebagai ilmu hudhuri.
3.
Sifat kelangsungan nalar ‘irfani ini dapat dilihat dari apa yang
disebut sebagai pengalaman "eksistensial".
C.
Metode-Metode Irfani
1.
Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui
upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya
(Solihin, 2003:54). Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara
rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya menahan diri agar jauh
dari berbuat maksiat atau dosa.
2.
Tafakur
Secara
harfiah “tafakur” berarti memikirkan
sesuatu secara mendalam, sistematis, dan terperinci (Gulen, 2001:34). Menurut
Imam Al-Ghazali (dalam Badri, 1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati
akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan
berubah.
3.
Tazkiyat An-Nafs
sSecara harfiah Tazkiyat an-Nafs terdiri dari dua kata yaitu tazkiyat dan an-Nafs.
Tazkiyat berarti penyucian. Sedangkan kata an-Nafs berarti jiwa dalam kondisi psikis. Dengan begitu dapat
diketahui tazkiyat an-Nafs berarti
penyucian jiwa. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat Takziyat an-Nafs adalah
mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifak, sehingga jiwa
menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi
dalam Solihin, 2003:131).
4.
Dzikrullah
Kata “dzik” berasal dari
bahasa Arab yang berarti mengisyaratkan, mengagumkan, menyebut atau
mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004:85). Berzikir kepada Allah
(zikrullah) atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah
dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha Tinggi (Al-Jilani, 2003:97).
Dzikrullah berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah atau batin.
Zikir bermanfaat untuk membersihkan
hati. Al-Ghazali -dalam Ihya’־menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada
Allah SWT. Takwa merupakan pintu gerbang
zikir, sedangkan zikir merupakan pintu gerbang kasyaf. Sementara, kasyaf adalah pintu gebang kemenangan yang besar.[5]
D.
Konsep dan Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
1. Robi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail
Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia lahir pada tahun 95 H /713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat pada tahun 185
H atau 801 M.[6] Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat
miskin. Untuk melukiskan keprihatinan Rabi’ah, Fariuddin Attar, penyair mistik
Persia, menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, yang tidak ada sesuatu pun yang dapat
dimakan dan dapat dijual. Karena ia putri keempat, orangtuanya memberi nama
Rabi’ah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat
terjadi bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada
keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah.[7]
Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiriyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini
pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat
cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah pada saat ia sedang beribadah.[8]
Setelah menikmati kebebasan, Rabi’ah
menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan ber-khalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada kegemerlapan
kehidupan duniawi.
Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam Islam
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Rabi’ah pula
yangpertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah al-Adawiyah
tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang
disandarkan kepadanya. Al- Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat,
Rabi’ah menyatakan doanya. “ Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai-Mu
oleh api neraka?”. Tiba-tiba terdengan suara, “ Kami tidak akan melakukan itu
janganlah engkau berburuk sangka kepada kami .”[9]
Diantara syair cinta
Rabi’ah yang paling masyhur adalah:
“Aku mengabdi
kepada Allah bukan karena takut pada api neraka
Bukan pula
karena ingin masuk surga
Tetapi aku
mengabdi
Karena cintaku
kepadaNya”
“Tuhanku, jika
kupuja Engkau karena takut pada neraka
Bakarlah aku di
dalamnya
Dan jika kupuja
Engkau karena mengharapkan
Jauhkanlah aku
dari padanya
Tetapi jika
Engkau kupuja semata karena Engkau
Maka janganlah
sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dari diriku”
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dankarena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena dirimu adalah keadaanku
mengungkapkan kabir sehingga engkau ku lihat.
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah
bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk ke semuanya.”[10]
Untuk memperjelas
pengertian al-hubbyang diajukan
Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan hub
anta ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib al-
Makiy dalam Qut al-hulq- sebagaiman
dijelaskan Badawi- memberikan penafsiran bahwa makna hub al-hawa adalah rasa
cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT.
Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual karenanya hub disini bersifat hubb
indriawi. Walaupun demikian, hubb
al-hawa yang di ajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan
berkurangkarena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak
memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang sesuatu yang ada di balik
nikmat.[11]
Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah
cinta yang tidak di dorong kesenangan indriawi, tetapi di doromg Dzat yang
dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Kewajiban-kewajiban yang di jalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta (mahabbah) kepada Dzat yang dicintai.
Cintanya kepada
Allah begitu memenuhi seluruh ruang dan relung jiwanya. Karenanya pula ia
menolak terhadap semua tawaran laki-laki yang bermaksud meminangnya untuk
berumah tangga. Ia mengatakan bahwa dirinya telah menjadi milik Allah yang
dicintainya. Karena itu siapapun yang bermaksud meminangnya hendaklah orang itu
harus mendapatkan ijin dari Allah. Seseorang pernah bertanya kepadanya: “Apakah
engkau membenci setan?”. Rabi’ah menjawab: “Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku
untuk membenci setan”. Rabi’ah pernah ditanya pula tentang cintanya
kepada Nabi Muhammad saw. Rabi’ah menjawab: “Saya cinta kepada Nabi, tetapi
cintaku kepada Allah al-Khaliq memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk”.[12]
2. Dzu An-Nun Al-Misri
Nama lengkapnya Abu
Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir,
pada tahun 180 H/796 M . Julukan Dzu An-Nun diberikan
kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah SWT kepadanya. Diantaranya
ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di
sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam perjalanan hidupnya ia berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Ia pernah menjelalahi berbagai daerah di Mesir, Mengunjungi Baitul
Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Lebanon, ‘Anthokiah dan
Lembah Kan’an.[13]
Hal ini menyebabkan ia memperoleh banyak pengalaman. Gurunya dalam bidang tasawuf
adalah Syarqan Al’-Abd.
Pada tahun 214 H/829 M, Dzu An-Nun Al-Misri ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan disana.
Setelah diadili, Khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke
Kairo. Di kota ini ia wafat pada tahun 246 H/856 M.
Al-misri adalah pelopor
paham makrifat. Penilaian ini sangat tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi
dan Al-Mas’udi –yang kemudian dianalisis Nicholson- dan Abd Al-Qadir dalam Falsafah Ash-Shufiyyah fi al-islam, Al-Misri
berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam.
Pertama, ia membedakan antara “makrifat
shufiyyah”dengan “makrifat aqliyah”. Apabila yang
pertama menggunakan pendekatak qalb yang
biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa
digunakan para teolog. Kedua, menurut al-Misri , makrifat sebenarnya adalah musyahadat qalbiyah (penyaksian hati)
sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azhali. Ketiga, teori-teori makrifat al- Misri
menyerupai gnosisme ala neoplatonik. Teori-teorinya
itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad
. Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah
dalam tasawuf.[14]
Berikut ini beberapa
pandangan Al-Misri mengenai hakikat makrifat.
1. Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah
ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin,
bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin,
dan ahli balghah, melainkan makrifat terhadap keesaan tuhan yang khusus
dimiliki para wali Allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah
SWT dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk
hamba-hamba-Nya yang lain.[15]
2. Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWT.
menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak
dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa
mendekat kepada Allah SWT. Merasa hilang dirinya lebur dalam kekuasaanya. Dia
merasa sebagai hamba yang berbicaara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah
SWT. Pada lidah mereka, ia melihat dengan penglihatan Allah SWT.,
dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.[16]
Kedua pandangan Al-Misri ini
menjelaskan bahwa makrifat Allah SWT. Tidak dapat ditempuh melalui pendekaatan
akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi
dengan jalan makrifat batin.
Al-Misri membagi pengetahuan tentang
Tuhan menjadi tiga macam, yaitu;[17]
1.
pengetahuan untuk seluruh Muslim,
2.
pengetahuan khusus untuk para filsuf dan ulama; dan
3.
pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan
jenis pertama dan kedua belum dimasukkan kedalam kategori pengetahuan hakiki
tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan makrifat, tetapi disebut dengan ilmu,
sedangkaan pengetahuan jenis ketiga baru disebut dengan makrifat.
Dalam perjalanan rohani, Al-Misri
mempunyai sistematika tertentu tentang jalan menuju makrifat. Dari teks-teks
ajarannya, Abdu Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri
sebagai berikut:
a.
Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri
menjawab, “Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah SWT. Dan tidak ada
usaha untuk mengenal-Nya.
b.
Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah, harus dimulai dengan
meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq
al-ihtiba’, tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang. Ini urusan Allah SWT
semata.
c.
Di sisi lain, Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam,
yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan (melayang) di
atas kekuatan makrifat.[18]
Dzu An-Nun Al-Misri dianggap oleh orang-orang Mesir sebagai seorang
sufi yang pertama-tama memperkenalkan istilahmaqam (tingkatan kejiwaan) dalam ilmu tasawuf. Pandangan Al-Misri
tentang maqamat adalah pada beberapa
hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr,
at-tawakkal, ar-ridha.[19]
Menurut Al-Misri, ada dua macam
tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Lebih lanjut,Al-Misri
membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:[20]
1. orang yang
bertobat dari dosa dan keburukannya;
2. orang yang
bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan;
3. orang yang
bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk
kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika iamenjenguk orang yang sakit.
Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak termasuk cinta orang
yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit
itu kamudian menimpal, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan
dari suatu cobaan.”[21]
Berkenaan dengan maqam
at-tawakkal, Al-Misri mendefinisikannya berhenti memikirkan diri sendiri
dan merasa memiliki daya dan kekuatan.[22]
Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. disertai perasaan
tidak memiliki kekuatan.
Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati
menyambut ketentuan Tuhan baginya.[23]
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Al-Qannad bahwa ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan.[24]
Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai
urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab,
tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah SWT adalah mengikuti kekasih-Nya,
yaitu Nabi Muhammad SAW. Dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan
sunnnahnya.[25]
Artinya, orang-orang yang mencintai Allah SWT senantiasa mengikuti sunnah
Rasul, tidak mengabaikan syariat. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jauh
tentang mahabbah bagi orang yang
ingin mengetahuinya dengan memerinci unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada
tiga simbol mahabbah, yaitu rida
terhada hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang
belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-hal
yang diperingatkan.[26]
3.
Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya
adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir didaerah
Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama
Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk
Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada didaerahnya,
tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.[27]
Sebelum menjadi
Sufi, ia menjadi seorang ahli Fiqh dalam madzhab Hanafiah. Ia berguru kepada
seorang ulama yang bernama Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu
tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Untuk menjadi seorang Sufi, Abu Yazid
menjalaninya dengan mengadakan pengembaraan dari satu tempat ketempat lainnya, naik
turun gunung dengan makan, minum, dan tidur yang sangat sedikit.
Ajaran tasawuf
terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan
baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai
keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi pernah
berkata:bahwa al-fana’ adalah hilangnya
semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan
manusia, sehingga ia kehilangan perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara
sadar, dalam hal ini ia telah menghilangkan keinginannya ketika melakukan sesuatu.[28]
Abu Yazid
mencapai fana’ setelah meninggalkan
semua keinginanan selain kepada Allah. Sepeti dalam ceritanya :
“
Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar
puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Kusemua
yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” Jawabku, “Karena
Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan
melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.........”
Dalam dialog yang
lain disebutkan; Abu Yazid mengisahkan kejadian dalam mimpinya bertemu dengan
Tuhan. Abu Yazid bertanya, “Bagaimana caranya aku sampai kepada-Mu” Tuhan
menjawab: “Tinggalkan diri-Mu dan kemarilah”
Adapun kata baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’
berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT.
Dalam menerangkan
kaitan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi menyatakan, “Barang
siapa meninggalkan sifat-sifat yang keji, ia sedang fana’ dari syahwatnya.
Ketika orang itu fana’ dari hawa nafsunyamaka ia baqa’ dalam kemurnian ibadah
kepada Tuhannya. Dan barang siapa sedang menjalani zuhud dari keduniaan, maka ia
fana’ dari keinginannya, dan ia dalam keadaan baqa’ dalam kemurnian kembali
dijalan-Nya.....[29]
Dalam ajaran
tasawwuf Abu Yazid Al-Bustami, terkandung falsafah hulul
dan ittihad. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialmi seorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam ittihad, seorang sufi bersatu dengan
Tuhan. Pada tingkatan ini terjadi persatuan antara yang mencintai (kaum Sufi)
dan dicintai (Allah)baik secara substansi maupun perbuatannya.[30]Dalam
paparan Harun Nasution, ittihad adalah
satu tingkatan seoorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu
tingkatan setelah yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga
salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai
aku”. Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud,
sugguhpun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, “Identitas telah hilang, identitas
telah menjadi satu. “Sufi yang bersangkutan karena fana’-nya
tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[31]
Dengan fana’-nya, Abu Yazid meninggalkan
dirinya dan pergi kehadirat Tuhan. Ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat
dari syatahat yang
diucapkannya.Seperti dalam cerita.; Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu
Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, ”Siapa yang engkau cari?” Orang
itu menjawab, “Abu Yazid” Abu Yazid berkata “Pergilah, di rumah ini tidak ada
Abu Yazid, kecuali Allah yang Mahakuasa, Mahatinggi.”[32]
4.
Abu Mansur Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu
Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi Al-Hallaj. Nama
Al-Hallaj diberikan kepadanya karena penghidupannya didapat dari memintal kain
wol.[33]
Ia lahir pada tahun 24 H/855 M di sebuah kota kecil di Persia – Baida. Ketika
menginjak dewasa ia berguru kepada seorang sufi yang bernama Sahl Ibn Abdullah
Al-Tusturi di kota Ahwas. Kemudian ia berangkat menuju Basrah menuntut ilmu dan
berguru kepada seorang sufi yang bernama Amr Al-Makki.
Kemudian beberapa tahun berikutnya
ia berguru kepada seorang sufi terkenal Al-Junaid Al-Baghdadi. Kemudian ia
mengembara pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari pengembaraannya
itulah ia mendapatkan banyak pendukung dan pengikut. Banyaknya pendukung dan
pengikut itu dikarenakan ia selalu menyuarakan protes dan kecaman terhadap penyelewengan
dan kekejaman dari penguasa pada saat itu. Dengan keberanian dan
kelantangannya itu ia mendapatkan simpati yang luar biasa dari kalangan
masyarakat, yang hal itu menimbulkan kekhawatiran penguasa akan terjadinya
perlawanan dan pemberontakan.
Kecaman dan protes yang keras dari
Al-Hallaj menyebabkan ia ditangkap dan dipenjara selama kurang lebih delapan tahun.
Penangkapan dan penahanan Al-Hallaj tersebut
karena ucapannya yaitu ana
al-haqq.
Setelah dipenjara selama delapan
tahun, Al-Hallaj dihukum gantung, tubuhnya dibakar,dan kepalanya dibawa ke
Khurasanuntuk dipertontonkan pada khalayak umum.Meninggalnya Al-Hallaj dengan
tragis ini tidak menciutkan para pendukung dan pengikutnya, terbukti setelah
seabad sejak kematian Al-Hallaj masih terdapat sekitar 4000 pengikutnya yang
menamakan diri sebagai Halajjiyah.[34]
Ajaran Al-Hallaj yang terkenal
adalah al-hulul yang melahirkan wahdat al syuhud dan wihdat al-wujud (kesatuan wujud).
Al-Hallaj memang mengaku dirinya menyatu dengan Allah. Kata al-hulul berarti menempati tempat.
Sementara yang dimaksud al-hulul dalam
ilmu tasawuf adalah Tuhan menempati anggota tubuh manusia tertentu setelah
sifat-sifat kemanusiaan dari manusia itu dilenyapkan.[35]
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam
diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat:

Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu sekalian kepada Adam!” Maka merekapun sujud, kecuali Iblis. Ia menolak dan
menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”
(Q.S Al-Baqarah [2]:34)
Pada ayat diatas, Allah SWT. memberi
perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk
diberi sujud hanya Allah SWT., Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam
sebenarnya ada unsur ketuhanan. [36]
Dan ia menfasirkan ayat ini bahwa Adam adalah salinan dari Allah, Ia
berpendapat demikian karena sebelum dijadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya
dan Ia pun cinta kepada Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta
inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.
Keyakinan Al-Hallaj inilah yang
merupakan awal ajaran pantheisme dalam Islam. Dalam sebuah syi’irnya Al-Hallaj
berkata:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan
air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula,
dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah ia yang kucinta dan ia yang kucinta adalah aku, kami
adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika Engkau lihat aku, Engkau lihat ia, dan jika engkau lihat ia
engkau lihat kami”[37]
Berdasarkan syair tersebut, dapat
dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan
mengambil bentuk hulul. Agar bersatu,
manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya. Setelah sifat-sifat
kemanusiannya hilang dan tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya,
disitulah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan
dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.[38]
Menurut Al-Hallaj, pada hulul terkandung
pada kefanaan total kehendak manusiadalam kehendak Ilahi sebagai kehendaknya
adalah kehendak Tuhan. Demikian jug tindakannya. Al-Hallaj mengatakan:
“Barang siapa mengira bahwa bahwa ketuhanan berpadu jadi satu
dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia.
Sebab, Allah SWT. mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari Dzat dan sifat
makhluk. Ia tidak sekali-sekali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak
sekali-kali menyerupai-Nya.[39]
Dengan demikian, Al-Hallaj
sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan,
seperti terlihat dalam syairnya:
Artinya:
Aku adalah rahasia yang Mahabenar dan bukanlah yang Benar itu aalah
aku, aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami.”[40]
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi
pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan
demikian, hulul yang terjadi hanya
kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’ atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf irfani ialah tasawuf yang
berusaha menyikap hakikat kebenaran atau makrifah diperoleh dengan tidak
menggunakan logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberitaan
Tuhan (mauhibah). Sumber dari nalar ‘irfani adalah realitas pengalaman
(experience) yang ditemukan langsung oleh sang arif atau sufi sebagai kelompok
pendukung keilmuan dalam sistem nalar ini. Metode Irfani meliputi riyadhah, tafakur, tazkiyat an-nafs, dan dziikrullah.
Tokoh-tokoh
tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah yang merupakan peletak dasar tasawuf berdasarkan
cinta (mahabbah) kepada Allah SWT.
Dzu An-Nun Al-Misri yang terkenal
sebagai pelopor paham makrifat.Abu
Yazid Bustami ajaran tasawufnya adalah fana’dan
baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, ajaran
tasawufnya yaitu al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian
melahirkan paham wahdat al-wujud (kesatuan
wujud).
B.
Saran
Dunia beserta isinya merupakan
karunia Allah yang harus kita syukuri, namun jangan sampai kita terlena dengan
kenikmatan dunia yang sesaat. Semoga seri tasawuf pada makalah ini yang
menghadirkan para tokoh tasawuf irfani menjadikan kita lebih memaknai kehidupan
yang hakiki dan menjadikan dunia sebagai kendaraan untuk menpersuiapkan diri
menuju kehidupan sesungguhnya yang abadi dan sejati.
Muchlis Solichin, Mohammad. 2012. Pendididkan Akhlak Tasawuf. Yogyakarta:
Suka Press
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Ahmad Bangun., Siregar,
Rayani Hanum. 2015. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Rajawali Press
http://www.staffnew.uny.ac.id/58d8ec1502001d7b9d1934c0006b1f14d5e514c55/5sejarah+pemikiran+tasawuf+Islam.pdf
[1]Nasrullah, Nalar Irfani Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya
diakses dari http//www.oaji.net/articles/2014/1163-1409633958.pdf, pada
20 November 2017
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
.
[5]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2010, hlm. 211
[8]Ibid.
[11]Ibid.
n+tasawuf+Islam.pdf
[13]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2010, hlm. 258
[17]Ibid.
[22]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27]Mohammad Muchlis Solihin, Pendidikan
Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Suka Press, hlm. 181
[31]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2010, hlm. 268
[33]Mohammad Muchlis Solihin, Pendidikan
Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Suka Press, hlm. 190
[35]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2010, hlm. 271
[39]Ibid.
[40]Mohammad Muchlis Solihin, Pendidikan
Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Suka Press, hlm. 181
No comments:
Post a Comment