Sunday, December 10, 2017

Tasawuf Irfani, Konsep dan Tokohnya



MAKALAH
TASAWUF IRFANI : (Konsep dan Tokohnya)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahAkhlaqTasawuf
Dosen Pengampu: Moch. Cholid Wardi, M.H.I



Oleh:
Nur Diana Weny Yanti        (20170703022155)
Nurul Aimanah                     (20170703022162)
Nurul Imaniyah                     (20170703022164)
Qurrotul Aini                         (20170703022169)
Rahmatul Fajariah               (20170703022172)

JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017



Kata Pengantar
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tasawuf Irfani” dengan tepat waktu. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhlak tasawuf.
            Salawat dan salam kami haturkan keharibaan Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari alam kejahiliyahan menuju umat yang beradab dan penuh dengan rasa kemanusiaan dan kecintaan antar sesama.
            Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi. Namun, penulis menyadari kelancaran penyelesian makalah ini berkat dorongan dan bantuan berbagai pihak sehingga semua kendala-kendala penulis dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucpkan terimakasih kepada:
1.      Allah SWT yang telah memperlancar dan memudahkan penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
2.      Moch. Cholid Wardi, M.H.Iselaku pengajar mata kuliah yang telah memberi tugas ini.
3.      Pihak-pihak  lain yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
            Tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah ini yang jauh dari kata sempurna, akhir kata kepada semua pihak, kritik dan saran selalu kami nantikan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh




                                                                                                Pamekasan, 1 Oktober 2017



                                                                                                            Penulis




Daftar Isi
HalamanJudul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A.    Latar Belakang 1
B.     Rumusan Masalah 1
C.     Tujuan 1
D.    Manfaat 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A.    Pengertian Tasawuf Irfani 2
B.     Karakteristik  Irfani 2
C.     Metode-Metode Irfani 3
D.    Konsep dan Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani 4
BAB III PENUTUP 15
A.    Kesimpulan 15
B.     Saran 15
Daftar Pustaka 16

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Diera globalisasi dimana dunia tanpa batas berdampak pada menyebarnya hedonisme yang mengakibatkan semakin lunturnya nilai-nilai kereligiusan. Hal ini mengakibatkan kualitas spriritual seseorang menurun sehingga diperlukan pemahaman untuk mengkaji akhlak tasawuf.
            Tasawuf ialah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara untuk menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun zahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Inilah hakikat tasawuf itu sendiri.
            Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan sehingga memperoleh hubungan yang khusus langsung dari Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengasingkan diri dari gemerlap kehidupan dunia. Keberadaan yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk ittihad, yang menjadi persoalan “sufisme” dalam agama Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tasawuf irfani?
2.      Bagaimana karakteristik dan metode irfani?
3.      Sebutkan konsep dan tokoh tasawuf irfani?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui, mengenal dan memahami tasawuf irfani.
2.      Untuk mengetahui karakteristik dan metode irfani.
3.      Untuk mengetahui konsep dan tokoh tasawuf irfani.

D.    Manfaat
1.      Dapat mengetahui mengenal dan memahami tasawuf irfani.
2.      Dapat mengetahui karakteristik dan metode irfani.
3.      Dapat mengetahui konsep dan tokoh tasawuf irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Irfani
            Irfan secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab ‘arafa yang sinonim dengan kata ma’rifah, yang bermakna suatu pengetahuan.[1] lrfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman. Irfani adalah suatu pengetahuan yang diperoleh melalui pencapaian dan penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba yang menjalani sehingga terbuka hakekat tersebut (kasyf) melalui jalur olah rohani atau laku-jiwa yang didasarkan atas nama cinta (mahabbah).
            Tasawuf irfani ialah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran diperoleh dengan tidak menggunakan logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberitaan Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena manusia melakukan tasawuf berupaya melakukan tafsiyat al-qalb.

B.     Karakteristik Irfani
            Nalar 'irfani berkaitan dengan hati (qalb) karena wilayah bekerjanya pada dimensi batin. Adapun objek yang ditangkap nalar ‘irfani bersifat lebih abstrak; seperti rasa cinta, benci, kecewa, dan bahagia.[2] Pengetahuan ‘irfani didasarkan pada kasyf, di mana dialaminya suatu pengalaman ketersingkapan rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan.[3]            Pengetahuan irfani diperoleh berdasarkan berdasarkan atas terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika qalb (hati) sebagai sarana pencapaian pengetahuan irfan siap untuk menerimanya. Untuk itu, diperlukan persiapan-persiapan tertentu sebelum seseorang mampu menerima limpahan pengetahuan secara langsung tersebut. Persiapan yang dimaksud, adalah bahwa seseorang harus menempuh perjalanan spiritual lewat “tahapan-tahapan tertentu” (maqâm) dan mengalami kondisi-kondisi batin tertentu (hâl) [4]. Sumber dari nalar ‘irfani adalah realitas pengalaman (experience) yang ditemukan langsung oleh sufi sebagai kelompok pendukung keilmuan dalam sistem nalar ini.
            Dengan demikian, telah jelas bahwa kekhasan nalar ‘irfani ini terletak pada sifatnya yang langsung. Mengenai karakter darisifat langsung ’irfani dalam menangkap objeknya ini kemudian dapat dianalisis ke dalam beberapa hal;
1.      Pengetahuan ‘irfani bisa dicapai melalui pengalaman.
2.      Sifat langsung pengetahuan ‘irfani bisa dilihat dari apa yang sering disebut sebagai ilmu hudhuri.
3.      Sifat kelangsungan nalar ‘irfani ini dapat dilihat dari apa yang disebut sebagai pengalaman "eksistensial".

C.    Metode-Metode Irfani
1.    Riyadhah
                 Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya (Solihin, 2003:54). Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa.
2.         Tafakur
                 Secara harfiah “tafakur” berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis, dan terperinci (Gulen, 2001:34). Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri, 1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah.
3.         Tazkiyat An-Nafs
                 sSecara harfiah Tazkiyat an-Nafs terdiri dari  dua kata yaitu tazkiyat dan an-Nafs. Tazkiyat berarti penyucian. Sedangkan kata an-Nafs berarti jiwa dalam kondisi psikis. Dengan begitu dapat diketahui tazkiyat an-Nafs berarti penyucian jiwa. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat Takziyat an-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifak, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi dalam Solihin, 2003:131).


4.         Dzikrullah
                 Kata “dzik” berasal dari bahasa Arab yang berarti mengisyaratkan, mengagumkan, menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin, 2004:85). Berzikir kepada Allah (zikrullah) atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha Tinggi (Al-Jilani, 2003:97). Dzikrullah berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah atau batin.
          Zikir bermanfaat untuk membersihkan hati. Al-Ghazali -dalam Ihya’־menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada Allah SWT. Takwa merupakan pintu  gerbang zikir, sedangkan zikir merupakan pintu gerbang kasyaf. Sementara, kasyaf adalah pintu gebang kemenangan yang besar.[5]

D.    Konsep dan Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
1.      Robi’ah Al-Adawiyah
            Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia lahir pada tahun 95 H /713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat pada tahun 185 H atau 801 M.[6] Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Untuk melukiskan keprihatinan Rabi’ah, Fariuddin Attar, penyair mistik Persia, menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, yang tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan dan dapat dijual. Karena ia putri keempat, orangtuanya memberi nama Rabi’ah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadi bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah.[7] Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiriyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah pada saat ia sedang beribadah.[8]
            Setelah menikmati kebebasan, Rabi’ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan ber-khalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada kegemerlapan kehidupan duniawi.
Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yangpertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al- Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya. “ Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?”. Tiba-tiba terdengan suara, “ Kami tidak akan melakukan itu janganlah engkau berburuk sangka kepada kami .”[9]
            Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah:                
“Aku mengabdi kepada Allah bukan karena takut pada api neraka
Bukan pula karena ingin masuk surga
Tetapi aku mengabdi
Karena cintaku kepadaNya”

“Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka
Bakarlah aku di dalamnya
Dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan
Jauhkanlah aku dari padanya
Tetapi jika Engkau kupuja semata karena Engkau
Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dari diriku”

       “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dankarena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena dirimu adalah keadaanku mengungkapkan kabir sehingga engkau ku lihat.
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk ke semuanya.”[10]
            Untuk memperjelas pengertian al-hubbyang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan  hub anta ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib al- Makiy dalam Qut al-hulq- sebagaiman dijelaskan Badawi- memberikan penafsiran bahwa makna hub al-hawa  adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materiil,  tidak spiritual karenanya hub disini bersifat hubb indriawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang di ajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurangkarena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang sesuatu yang ada di balik nikmat.[11] Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak di dorong kesenangan indriawi, tetapi di doromg Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang di jalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta (mahabbah) kepada Dzat yang dicintai.
            Cintanya kepada Allah begitu memenuhi seluruh ruang dan relung jiwanya. Karenanya pula ia menolak terhadap semua tawaran laki-laki yang bermaksud meminangnya untuk berumah tangga. Ia mengatakan bahwa dirinya telah menjadi milik Allah yang dicintainya. Karena itu siapapun yang bermaksud meminangnya hendaklah orang itu harus mendapatkan ijin dari Allah. Seseorang pernah bertanya kepadanya: “Apakah engkau membenci setan?”. Rabi’ah menjawab: “Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk membenci setan”. Rabi’ah pernah ditanya pula tentang cintanya kepada Nabi Muhammad saw. Rabi’ah menjawab: “Saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada Allah al-Khaliq memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk”.[12]

2.      Dzu An-Nun Al-Misri
            Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M . Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah SWT  kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam perjalanan hidupnya ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelalahi berbagai daerah di Mesir, Mengunjungi Baitul Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Lebanon, ‘Anthokiah dan Lembah Kan’an.[13] Hal ini menyebabkan ia memperoleh banyak pengalaman. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syarqan Al’-Abd. 
            Pada tahun 214 H/829 M, Dzu An-Nun Al-Misri ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan disana. Setelah diadili, Khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kota ini ia wafat pada tahun 246 H/856 M.
            Al-misri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangat tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi –yang kemudian dianalisis Nicholson- dan Abd Al-Qadir dalam Falsafah Ash-Shufiyyah fi al-islam, Al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan antara “makrifat shufiyyah”dengan “makrifat aqliyah”. Apabila yang pertama menggunakan pendekatak qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua,  menurut al-Misri , makrifat sebenarnya adalah musyahadat qalbiyah (penyaksian hati) sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azhali. Ketiga, teori-teori makrifat al- Misri menyerupai gnosisme ala neoplatonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad . Ia pun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.[14]
            Berikut ini beberapa pandangan Al-Misri mengenai hakikat makrifat.
1.      Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin, dan ahli balghah, melainkan makrifat terhadap keesaan tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.[15]
2.      Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWT. menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa mendekat kepada Allah SWT. Merasa hilang dirinya lebur dalam kekuasaanya. Dia merasa sebagai hamba yang berbicaara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT. Pada lidah mereka, ia melihat dengan penglihatan Allah SWT., dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.[16]
            Kedua pandangan Al-Misri ini menjelaskan bahwa makrifat Allah SWT. Tidak dapat ditempuh melalui pendekaatan akal dan  pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin.           
            Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu;[17]
1.      pengetahuan untuk seluruh Muslim,
2.      pengetahuan khusus untuk para filsuf dan ulama; dan
3.      pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT.
            Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan kedalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan makrifat, tetapi disebut dengan ilmu, sedangkaan pengetahuan jenis ketiga baru disebut dengan makrifat.
            Dalam perjalanan rohani, Al-Misri mempunyai sistematika tertentu tentang jalan menuju makrifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdu Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagai berikut:
a.       Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, “Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah SWT. Dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.
b.      Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah, harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq al-ihtiba’, tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang. Ini urusan Allah SWT semata.
c.       Di sisi lain, Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan (melayang) di atas kekuatan makrifat.[18]
            Dzu An-Nun Al-Misri dianggap oleh orang-orang Mesir sebagai seorang sufi yang pertama-tama memperkenalkan istilahmaqam (tingkatan kejiwaan) dalam ilmu tasawuf. Pandangan Al-Misri tentang maqamat adalah pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakkal, ar-ridha.[19]
            Menurut Al-Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Lebih lanjut,Al-Misri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:[20]
1.      orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya;
2.      orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan;
3.      orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
            Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika iamenjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak termasuk cinta orang yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu kamudian menimpal, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”[21]
            Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Misri mendefinisikannya berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.[22] Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
            Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya.[23] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Al-Qannad bahwa ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan.[24]
            Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah SWT adalah mengikuti kekasih-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunnnahnya.[25] Artinya, orang-orang yang mencintai Allah SWT senantiasa mengikuti sunnah Rasul, tidak mengabaikan syariat. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah bagi orang yang ingin mengetahuinya dengan memerinci unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada tiga simbol mahabbah, yaitu rida terhada hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-hal yang diperingatkan.[26]
  3.      Abu Yazid Al-Bustami
            Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir didaerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada didaerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.[27]
            Sebelum menjadi Sufi, ia menjadi seorang ahli Fiqh dalam madzhab Hanafiah. Ia berguru kepada seorang ulama yang bernama Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Untuk menjadi seorang Sufi, Abu Yazid menjalaninya dengan mengadakan pengembaraan dari satu tempat ketempat lainnya, naik turun gunung dengan makan, minum, dan tidur yang sangat sedikit.
             Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,  fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi pernah berkata:bahwa al-fana’ adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dalam hal ini ia telah menghilangkan keinginannya ketika melakukan sesuatu.[28]
             Abu Yazid mencapai fana’ setelah meninggalkan semua keinginanan selain kepada Allah. Sepeti dalam ceritanya :
“ Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, maka aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Mintalah kepada-Kusemua yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” Jawabku, “Karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.........”
             Dalam dialog yang lain disebutkan; Abu Yazid mengisahkan kejadian dalam mimpinya bertemu dengan Tuhan. Abu Yazid bertanya, “Bagaimana caranya aku sampai kepada-Mu” Tuhan menjawab: “Tinggalkan diri-Mu dan kemarilah”
             Adapun kata baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT.
             Dalam menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi menyatakan,         Barang siapa meninggalkan sifat-sifat yang keji, ia sedang fana’ dari syahwatnya. Ketika orang itu fana’ dari hawa nafsunyamaka ia baqa’ dalam kemurnian ibadah kepada Tuhannya. Dan barang siapa sedang menjalani zuhud dari keduniaan, maka ia fana’ dari keinginannya, dan ia dalam keadaan baqa’ dalam kemurnian kembali dijalan-Nya.....[29]
             Dalam ajaran tasawwuf Abu Yazid Al-Bustami, terkandung falsafah  hulul dan ittihad. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialmi seorang sufi setelah melalui tahapan  fana’ dan baqa’. Dalam ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Pada tingkatan ini terjadi persatuan antara yang mencintai (kaum Sufi) dan dicintai (Allah)baik secara substansi maupun perbuatannya.[30]Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seoorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan setelah yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sugguhpun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, “Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. “Sufi yang bersangkutan karena  fana’­-nya tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[31]
             Dengan fana’-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan. Ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya.Seperti dalam cerita.; Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, ”Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid” Abu Yazid berkata “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah yang Mahakuasa, Mahatinggi.”[32]
4.      Abu Mansur Al-Hallaj
              Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi Al-Hallaj. Nama Al-Hallaj diberikan kepadanya karena penghidupannya didapat dari memintal kain wol.[33] Ia lahir pada tahun 24 H/855 M di sebuah kota kecil di Persia – Baida. Ketika menginjak dewasa ia berguru kepada seorang sufi yang bernama Sahl Ibn Abdullah Al-Tusturi di kota Ahwas. Kemudian ia berangkat menuju Basrah menuntut ilmu dan berguru kepada seorang sufi yang bernama Amr Al-Makki.
              Kemudian beberapa tahun berikutnya ia berguru kepada seorang sufi terkenal Al-Junaid Al-Baghdadi. Kemudian ia mengembara pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari pengembaraannya itulah ia mendapatkan banyak pendukung dan pengikut. Banyaknya pendukung dan pengikut itu dikarenakan ia selalu menyuarakan protes dan kecaman terhadap penyelewengan dan kekejaman dari penguasa pada saat itu.                          Dengan keberanian dan kelantangannya itu ia mendapatkan simpati yang luar biasa dari kalangan masyarakat, yang hal itu menimbulkan kekhawatiran penguasa akan terjadinya perlawanan dan pemberontakan.
              Kecaman dan protes yang keras dari Al-Hallaj menyebabkan ia ditangkap dan dipenjara selama kurang lebih delapan tahun. Penangkapan dan penahanan Al-Hallaj tersebut  karena ucapannya yaitu ana al-haqq.
              Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung, tubuhnya dibakar,dan kepalanya dibawa ke Khurasanuntuk dipertontonkan pada khalayak umum.Meninggalnya Al-Hallaj dengan tragis ini tidak menciutkan para pendukung dan pengikutnya, terbukti setelah seabad sejak kematian Al-Hallaj masih terdapat sekitar 4000 pengikutnya yang menamakan diri sebagai Halajjiyah.[34]
              Ajaran Al-Hallaj yang terkenal adalah al-hulul yang melahirkan wahdat al syuhud dan wihdat al-wujud (kesatuan wujud). Al-Hallaj memang mengaku dirinya menyatu dengan Allah. Kata al-hulul berarti menempati tempat. Sementara yang dimaksud al-hulul dalam ilmu tasawuf adalah Tuhan menempati anggota tubuh manusia tertentu setelah sifat-sifat kemanusiaan dari manusia itu dilenyapkan.[35]
              Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu sekalian kepada Adam!” Maka merekapun sujud, kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”
                                                                                                  (Q.S Al-Baqarah [2]:34)
              Pada ayat diatas, Allah SWT. memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah SWT., Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. [36] Dan ia menfasirkan ayat ini bahwa Adam adalah salinan dari Allah, Ia berpendapat demikian karena sebelum dijadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya dan Ia pun cinta kepada Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini.
              Keyakinan Al-Hallaj inilah yang merupakan awal ajaran pantheisme dalam Islam. Dalam sebuah syi’irnya Al-Hallaj berkata:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah ia yang kucinta dan ia yang kucinta adalah aku, kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.
Jika Engkau lihat aku, Engkau lihat ia, dan jika engkau lihat ia engkau lihat kami”[37]
              Berdasarkan syair tersebut, dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya. Setelah sifat-sifat kemanusiannya hilang dan tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.[38]
              Menurut Al-Hallaj, pada  hulul terkandung pada kefanaan total kehendak manusiadalam kehendak Ilahi sebagai kehendaknya adalah kehendak Tuhan. Demikian jug tindakannya. Al-Hallaj mengatakan:
“Barang siapa mengira bahwa bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah SWT. mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari Dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-sekali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.[39]
              Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya:
Artinya:
Aku adalah rahasia yang Mahabenar dan bukanlah yang Benar itu aalah aku, aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami.”[40]
              Dapat ditarik kesimpulan bahwa  hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’ atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Tasawuf irfani ialah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau makrifah diperoleh dengan tidak menggunakan logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberitaan Tuhan (mauhibah). Sumber dari nalar ‘irfani adalah realitas pengalaman (experience) yang ditemukan langsung oleh sang arif atau sufi sebagai kelompok pendukung keilmuan dalam sistem nalar ini. Metode Irfani meliputi   riyadhah,  tafakur, tazkiyat an-nafs, dan dziikrullah.
              Tokoh-tokoh tasawuf  irfani, diantaranya Rabi’ah  Al-Adawiyah yang  merupakan peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Dzu An-Nun Al-Misri yang  terkenal sebagai pelopor paham makrifat.Abu Yazid Bustami ajaran tasawufnya adalah fana’dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, ajaran tasawufnya yaitu al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud).

B.     Saran
              Dunia beserta isinya merupakan karunia Allah yang harus kita syukuri, namun jangan sampai kita terlena dengan kenikmatan dunia yang sesaat. Semoga seri tasawuf pada makalah ini yang menghadirkan para tokoh tasawuf irfani menjadikan kita lebih memaknai kehidupan yang hakiki dan menjadikan dunia sebagai kendaraan untuk menpersuiapkan diri menuju kehidupan sesungguhnya yang abadi dan sejati.










DAFTAR PUSTAKA
Muchlis Solichin, Mohammad. 2012. Pendididkan Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Suka Press
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Ahmad Bangun., Siregar, Rayani Hanum. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press






                                                                        




[1]Nasrullah, Nalar Irfani Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya diakses dari   http//www.oaji.net/articles/2014/1163-1409633958.pdf, pada 20 November 2017
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
. 
[5]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 211
[6]Ibid., hlm. 253
[7]Ibid., hlm. 254
[8]Ibid.
[9]Ibid., hlm. 255
10Ibid.



[11]Ibid.
[13]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 258
[14]Ibid., hlm. 259
[15] Ibid., hlm. 260
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Ibid., hlm. 261.
[19]Ibid., hlm. 262
[20]Ibid., hlm. 263.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid.,  hlm. 264
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27]Mohammad Muchlis Solihin, Pendidikan Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Suka Press, hlm. 181
[28]Ibid., hlm. 183.
[29]Ibid., hlm. 186
[30]Ibid., hlm. 187
[31]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 268
[32]Ibid., hlm. 269
[33]Mohammad Muchlis Solihin, Pendidikan Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Suka Press, hlm. 190
[34]Ibid., hlm. 192
[35]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 271
[36]Ibid., hlm. 272.
[37]Ibid., hlm. 273.
[38]Ibid., hlm. 274.
[39]Ibid.
[40]Mohammad Muchlis Solihin, Pendidikan Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Suka Press, hlm. 181







No comments:

Post a Comment

Tasawuf Irfani, Konsep dan Tokohnya

MAKALAH TASAWUF IRFANI : (Konsep dan Tokohnya) Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahAkhlaqTasawuf Dosen Pengampu: Moch. Cho...