Wednesday, December 6, 2017

Tasawuf di Indonesia dan Tokohnya

MAKALAH AKHLAK TASAWUF
” TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA “
Dosen Pengampu : Moch. Cholid Wardi, M.H.I


Disusun Oleh :
Kelompok 8
1.      Silvia Alviani Susiyanti                            20170703022195
2.      Siti Nurul Jannah                                      20170703022201
3.      Ulfatul Hasanah                                       20170703022218
4.      Zaskia Rimadhanti Arifin                        20170703022235


JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN AJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt, yang telah memberikan nikmat sehat jasmani serta rohani sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Tasawuf di Indonesia dan Tokohnya “. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, semoga hal tersebut tidak menghalangi kami untuk terus berkarya. Kami berharap dimasa yang akan datang, kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.
Di dalam penulisan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Orang tua kami yang telah memberikan dukungan nya untuk penyelesaian makalah ini, serta bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I yang memberikan tugas ini kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah yang akan datang.

                                                            Pamekasan, 21 September 2017

                                                                                        Penyusun







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.....................................................................................1
B.     Rumusan Masalah................................................................................1
C.     Tujuan..................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A.    Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia............................................2
B.     Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia.....................................3
C.     Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia.....................................................4
D.    Ajaran Para Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia...............................10
E.     Pengaruh Aliran Tasawuf di Indonesia.............................................13

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan.......................................................................................15
B.     Saran.................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................16




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Fakta sejarah masuknya Islam ke Indonesia telah terbukti pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi Islam telah masuk ke Indonesia dari tanah Arab dan kemudian mengalami kemunduran total lalu tampak lagi dengan kekuasaan yang penuh berwibawa pada abad ke-11. Tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia?
2.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia?
4.      Apa saja Ajaran para Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia?
5.      Bagaimana Pengaruh Aliran Tasawuf di Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia
2.      Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
3.      Untuk mengetahui Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
4.      Untuk mengetahui Ajaran para Tokoh-tokoh di Indonesia
5.      Untuk mengetahui Pengaruh Aliran Tasawuf di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia
Membicarakan sejarah masuknya tasawuf di Indonesia adalah lebih tepat apabila terlebih dahulu meninjau kembali sekilas lintas tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Dari gambaran ini akan kita lihat, apakah masuknya Islam ke Indonesia bersamaan atau sekaligus dengan tasawuf. Kita dapat mengetahui bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia, hubungan dagang antara Sumatera, Cina, India, dan Persia, serta negeri Arab sudah terjalin dengan pesatnya. Hal ini sezaman  dengan Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Lokitawarman. Hubungan dagang ketika itu adalah lebih bersifat pribadi bila dibandingkan dengan keadaan yang sekarang. Kontak perdagangan yang lama dan erat itu sadar atau tidak, telah membawa akibat mengambil unsur- unsur kebudayaan masing- masing pihak. Oleh karena para pedagang yang datang ini umumnya adalah beragama Budha, terutama dari India dan Cina, maka agama inilah yang mula- mula berkembang di Sumatera, khususnya di bagian timur.
Fakta sejarah masuknya Islam ke Indonesia telah terbukti pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi Islam telah masuk ke Indonesia dari tanah Arab dan kemudian mengalami kemunduran total lalu tampak lagi dengan kekuasaan yang penuh berwibawa pada abad ke-11. Kemunculan kedua ini tampak jelas betapa besar usaha dan dorongan Rajendra Tjola yang berasal dari India Selatan. Setelah itu Islam terus berkembang, sampai pada kerajaan Islam yang bersifat nasional pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi.
Dari uraian diatas dengan jelas kita telah mendapat gambaran, bahwa tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.[1]
B.     Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Akan tetapi, belakangan ini sufisme yang melandasi etos kerja mereka itu, kelihatannya hampir terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja. Tasawuf menjadi unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan – kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa Wali Sanga di Jawa.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral agama  penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M ), murid Abd Rauf Singkel, yang berkenal sebagai Syekh Tarekat Syattariyah. Ulama- ulama besar yang muncul kemudian di daerah ini, pada umumnya berasal dari didikan Syekh Ulakan, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Lintau, dan lain- lain. Orang- orang Minangkabau yang berani merantau, menyebarkan agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera bagian tengah dan selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah sekitarnya. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai.
Perkembangan Islam di Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Sanga atau Wali Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “ wali”. Bukti ini diperkuat lagi oleh hikayat Jawa ( babat Jawa ) yang mengisahkan drama pertentangan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga di satu pihak dan Syekh Siti Jenar di pihak lain, yang merupakan petunjuk kuat kehidupan tasawuf yang berkembang pada masa itu.
Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan- lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh modal spiritualis nonreligius. Situasi yang hampir sama juga menimpa dunia pesantren yang disebabkan oleh invasi sistem pendidikan sekuler yang berasal dari Eropa melalui kolonial Belanda. Karena faktor- faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di Indonesia secara berangsur- angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya. Sekalipun demikian, sebenarnya sufisme adalah semacam “sebuah pohon” yang berakar kuat dan dalam pada Islam, seirama dengan semangat gerakan pembaruan dalam Islam, dunia sufisme juga mengalami gagasan pembaruan.[2]
C.    Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
Sejarah Tasawuf di Nusantara telah mengalami perkembangan cukup dinamis. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam ilustrasi berikut.
No
Tasawuf di Nusantara
Tokoh-tokohnya
Ajarannya
1
Di Aceh
a. Hamzah Fansuri
Tasawuf Wujudiyah (panteisme)
b. Syamsudin As-Sumatrani
Tasawuf Wujudiyah (panteisme)
c. Nuruddin Ar-Raniri
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
d. Abd Ar-Rauf As-Sinkli
Memadukan antara tasawuf Wujudiyah dengan Sunni
2
Sumatera Selatan
a. Abd Sh-Shamad Al-Palimbani
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
b. Shihabuddin bin Abdullah         Muhammad
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
c. Kemas Fakhruddin
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
d. Muhammad Muhyiddin bin Syekh Shihabuddin
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
e. Kemas Muhammad bin Ahmad
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
f. Muhammad Ma’ruf bin Abdullah
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
3
Jawa
a. Syekh Siti Jenar
Tasawuf Wujudiyah (manunggalin kawulo gusti/panteisme)
b. Ahmad Mutamakin
Tasawuf wujudiyah (panteisme)
c. Abd Al-Muhyi Pamijahan
Memadukan tasawuf wujudiyah dan Sunni
d. Ronggowarsito
Tasawuf Jawa
e. Haji Hasan Musthafa
Tasawuf Sunda
f. Syekh Hasyim Asy’ari
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
g. K.H. Abdul Hamid Pasuruan
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
4
Sulawesi
a. Syekh Yusuf Al-Makasari
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
b. Muhammad Aidrus
Tasawuf teosofi/ falsafi
c. Haji Abdul Ghani
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
d. Haji Abdul Hadi
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
e. Muhammad Shalih
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
5
Kalimantan
a. Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Tasawuf wujudiyah (panteisme)
b. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
c. Syekh Abdul Hamid Abulung
Tasawuf wujudiyah (panteisme)
d. Syekh Achmad Khatib As-Sambasi
Tasawuf Sunni (Akhlaki)[3]
1. Tokoh-tokoh Tasawuf di Aceh
a.       Hamzah Al- Fansuri
Nama Hamzah Al- Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al- Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin As- Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al- Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia.
Orang banyak menyanggah Al- Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang yang zindiq, sesat, kafir,dan sebagainya. Ada orang yang menyangkanya sebagai pengikut ajaran Syi’ah. Ada juga yang memercayai bahwa ia bermadzhab Syafi’i di bidang fiqih. Dalam tasawuf, ia mengikuti Tarekat Qadariyah yang dibangsakan kepada Syekh Abdul Qadir Jailani.
Syair-syair Syekh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku- bukunya yang terkenal. Dalam kesusastraan Melayu atau Indonesia, tercatat buku-buku syairnya, antara lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pangguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Karangan-karangan Syekh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah, di antaranya Asrarul ‘Arifin fi Bayaani ‘Ilmis Suluki wat Tauhid, Syarbul ‘Al-Muhtadi, Ruba’i Hamzah Al-Fansuri.
Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat mengatakan bahwa ia pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan mengembangkan tasawuf di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu, dan lain-lain.[4]
b.      Nuruddin Ar-Raniri
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Asy-Syafi’i Ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya dalam hal pendidikannya. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadhramaut. Ketika masih di negeri asalnya, ia sudah menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang paling banyak memengaruhinya adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban’, seorang guru Tarekat Rifa’iyah keturunan Hadhramaut Gujarat, India.
Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujuddiyah yang dianggap sebagai aliran sesat. Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujuddiyah ini. Bahkan, lebih jauh, ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada pemburuan terhadap orang-orang sesat.
Diantara karya-karya yang pernah ditulis Ar-Raniri adalah:
  1. Ash-Shirath Al-Mustaqim (fiqh berbahasa Melayu)
  2. Bustan As-Salatin fi Dzikr wa Al-Akhirin (bahasa Melayu)
  3. Durrat Al-Fara’idh bi Syarhi Al-‘Aqaid (akidah, bahasa Melayu)
  4. Syifa’ Al-Qulub (cara-cara berdzikir, bahasa Melayu)[5]

  1. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili
Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 ( 1606-1637 M). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa ia merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Ia sempat menerima bai’at Tarekat Syathiriyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya.
Menurut Hasyimi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayah As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke-13, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan tua di pantai barat Sumatera. Pendidikannya dimulai dari ayahnya di Simpang Kanan ( Sinkili). Kepada ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa arab, mantiq, filsafat, sastra Arab atau Melayu, dan bahasa Persia. Penddikannya kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Sam Ad-Din As-Sumatrani. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.
Di antara karya-karya As-Sinkili adalah:
1)      Mir’at Ath-Thullab (fiqh Syafi’i bidang muamalah)
2)      Hikayat Al-Balighah (fiqh tentang sumpah, kesaksian, peradilan, pembuktian, dan lain-lain)
3)      ‘Umdat Al-Muhtajin (tasawuf)
4)      Syams Al-Ma’rifah ( tasawuf tentang makrifat)
5)      Kifayat Al-Muhtajin (tasawuf)
6)      Daqa’iq Al-Huruf (tasawuf)
7)      Turjuman Al-Mustafidh (tadsir)
8)      Dan lain-lain.[6]

2. Tokoh-tokoh Tasawuf di Sulawesi
a. Syekh Yusuf Al-Makasari

Syekh Yusuf  Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yang berarti belum berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi, (yaitu Datuk  Ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Quran dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan,ilmu badi’, ilmu balaghah, dan ilmu mantiq. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu ushuluddin, dan ilmu tasawuf. Ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi pada pribadinya.
Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Orang yang hidup pada zaman itu lebih mementingkan mental dan materiil. Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai agama dan kepercayan yang memang menjurus ke arah itu.
Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup banyak, bahkan sukar ditemukan ulama yang mempelajari demikian banyak tarekat serta mengamalkannya sepertinya, baik pada masanya maupun masa kini. Secara ringkas, tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan sebagai berikut.
a.       Tarekat Qadariyah diterima dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh.
  1. Tarekat Naqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah.
  2. Tarekat As-Syathariyah diterimanya dari Ibrahim Al-Kurani Madinah.
  3. Tarekat Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-Khalwati Al-Quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di Masjid Ibnu Arabi.[7]
D.    Ajaran Para Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia

a. Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran Al- Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn’Arabi dalam paham wahda wujudnya. Di antara Al- Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit ( madjhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi ( kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak bergerak,sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai, dan kembali ke lautan. [8]
b.      Ajaran Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri

1.      Tuhan
Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah SWT., sebagaimana yang dimaksud Ibnu Arabi. Akan tetapi, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah SWT.
2.      Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT.melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.
3.      Manusia
Manusia, menurut Ar-Raniri merupakan makhluk Allah SWT. yang paling sempurna didunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah SWT. di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Dia merupakan mazzhar (tempat kenyataan asma dan sifat Allah SWT. paling lengkap dan menyeluruh). Konsep ihsan kamil, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang digariskan Ibnu Arabi.
4.      Wujuddiyah
Inti ajaran Wujuddiyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada Wahdat Al-Wujud, yang disalahartikan kaum Wujuddiyah dengan arti kemanunggalan Allah SWT. dengan alam. Menurutnya, pendapat Hamzah Al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
5.      Hubungan Syariat dan Hakikat
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[9]
c.       Ajaran Tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili
As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin , yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tau, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.
Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yaitu sudah tercipta haqiqat Muhammadiyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabitah’, dan dari sinilah, alam tercipta. As-Sinkili juga mempunyai pemikiran tentang zikir. Dalam pandangannya, zikir merupakan usaha untuk melepaskan dari dari sifat lalai dan lupa.[10]
d.      Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
Berbeda dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan duniawi, Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah al-ihathah (peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Sebab, al-ihathah dan al-ma’iyyah Tuhan terhadap hamba-Nya adalah secara ilmu. Menurutnya, fana’ adalah hamba yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, merasa tidak ada, hanya ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan, dan perwujudan. Pandangannya tentang Tuhan diatas secara umum mirip dengan Wahdat Al-Wujud dalam filsafat mistik Ibnu Arabi.
Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar ( orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Quran, naik haji, dan berjihad di jalan Allah SWT. Kedua, cara mujahadat asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga, cara ahl adz-dzikr, yaitu jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin.[11]
E.     Pengaruh Aliran Tasawuf di Indonesia
Beberapa tokoh di Indonesia, uraian ringkas itu telah menggambarkan paham dan usaha-usaha mereka di masa lalu di dalam berbagai lapangan dan keahlian masing-masing dan semuanya ini tentu saja akan meninggalkan kesan dan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara langsung maupun sementara dalam waktu yang relatif singkat.
Ajaran tasawuf pada kemudiannya adalah berhubungan erat dengan tarekat. Di Indonesia tarekat-tarekat yang telah berkembang dan memiliki pengaruh ialah seperti, Tarekat Qadariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syattariyah, Tarekat Saziliyah, Tarekat Khal Awatiyah dan sebagainya.
Jauh sebelum ajaran Islam menyentuh bumi Indonesia, dikalangan masyarakat sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sikap hidup kerohanian yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang maha ghaib, telah bersemi, dan mendarah daging dalam diri setiap bangsa Indonesia.
Dalam keadaan dan kondisi sikap mental seperti ini, ajaran Islam pun datang bersama dengan paham tasawufnya yang kemudian berkembang menjadi ajaran tarekat.
Sumber yang dijadikan dalam pengembangan kesusastraan Jawa baru ini ialah kitab-kitab kuno yang diubah ke dalam bahasa dan syair Jawa baru. Selain itu juga bersumber kepada ajaran Islam yang telah lama berpusat di pesantren. Unsur-unsur keislaman kemudian diubah ke dalam bahasa alam pikiran Jawa serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa. Masyarakat Jawa mulai menyenangi tasawuf sejak masa kewalian. Dalam pertumbuhan bahasa Jawa, pengaruh tasawuf ini telah meresap dalam kepustakaan Jawa. Hal ini dilihat misalnya dalam primbon Sunan Bonang, Suluk Wijil, Suluk Sukarsa, dan sebagainya.[12]



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa Tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia. Perkembangan Tasawuf di Indonesia tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Salah satu Tokoh Tasawuf Nusantara yaitu, Tasawuf di Aceh adalah Hamzah Al- Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdur Rauf As-Sinkili, dan Syekh Yusuf  Al-Makasari. Ajaran yang disampaikan oleh Tokoh-tokoh Tasawuf diatas adalah Tasawuf Wujudiyah (panteisme), Tasawuf Sunni (Akhlaki), serta perpaduan antara Tasawuf Wujudiyah (panteisme) dan Tasawuf Sunni (Akhlaki). Jauh sebelum ajaran Islam menyentuh bumi Indonesia, dikalangan masyarakat sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sikap hidup kerohanian yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang maha ghaib, telah bersemi, dan mendarah daging dalam diri setiap bangsa Indonesia. Dalam keadaan dan kondisi sikap mental seperti ini, ajaran Islam pun datang bersama dengan paham tasawufnya yang kemudian berkembang menjadi ajaran tarekat.
B.     Saran
Berdasarkan Pembahasan diatas, diharapkan kepada para pembaca dapat mengambil pelajaran terhadap ajaran para Tokoh Tasawuf untuk kedepannya mengetahui sejarah masuknya islam ke Indonesia. Diharapkan juga kepada para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2015. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers
Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia






[1] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf. (Jakarta : Rajawali Pers,2015) Hlm. 63-65
[2] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. ( Bandung : Pustaka Setia, 2010,) Hlm. 337-339
[3] Syamsun Ni’am. Tasawuf Studies.( Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2014) Hlm. 191-193
[4] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. ( Bandung : Pustaka Setia, 2010,) Hlm.340-342
[5] Ibid, Hlm. 344-345
[6] Ibid, Hlm. 346-348
[7] Ibid, Hlm. 349-350
[8] Ibid, Hlm. 342-343
[9] Ibid, Hlm. 345-346
[10] Ibid, Hlm. 348-349
[11] Ibid, Hlm. 351-352
[12] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar.Akhlak Tasawuf. ( Jakarta : Rajawali Pers, 2015) Hlm. 70-71

No comments:

Post a Comment

Tasawuf Irfani, Konsep dan Tokohnya

MAKALAH TASAWUF IRFANI : (Konsep dan Tokohnya) Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahAkhlaqTasawuf Dosen Pengampu: Moch. Cho...