MAKALAH AKHLAK TASAWUF
” TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA “
Dosen
Pengampu : Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Disusun Oleh :
Kelompok 8
1.
Silvia
Alviani Susiyanti 20170703022195
2.
Siti
Nurul Jannah 20170703022201
3.
Ulfatul
Hasanah 20170703022218
4.
Zaskia
Rimadhanti Arifin 20170703022235
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah swt, yang telah memberikan nikmat sehat jasmani serta
rohani sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Tasawuf di
Indonesia dan Tokohnya “. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah
ini, semoga hal tersebut tidak menghalangi kami untuk terus berkarya. Kami
berharap dimasa yang akan datang, kami dapat membuat makalah yang lebih baik
lagi.
Membahas
perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses
islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara
merupakan jasa para sufi. Tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula
masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu
paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H
paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.
Di dalam penulisan makalah ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada Orang tua kami yang telah memberikan dukungan
nya untuk penyelesaian makalah ini, serta bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I yang
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah yang akan datang.
Pamekasan,
21 September 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.....................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................1
C.
Tujuan..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Masuknya Tasawuf di Indonesia............................................2
B.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf di Indonesia.....................................3
C.
Tokoh-tokoh
Tasawuf di Indonesia.....................................................4
D.
Ajaran
Para Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia...............................10
E.
Pengaruh
Aliran Tasawuf di Indonesia.............................................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................15
B. Saran.................................................................................................15
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................16
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membahas perkembangan
tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan
ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para
sufi. Fakta sejarah masuknya Islam ke Indonesia telah terbukti pada abad ke-1
Hijriyah atau abad ke-7 Masehi Islam telah masuk ke Indonesia dari tanah Arab
dan kemudian mengalami kemunduran total lalu tampak lagi dengan kekuasaan yang
penuh berwibawa pada abad ke-11. Tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal
mula masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian.
Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad
ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia?
2. Bagaimana
Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia?
3. Siapa
saja tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia?
4. Apa
saja Ajaran para Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia?
5. Bagaimana
Pengaruh Aliran Tasawuf di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia
2. Untuk
mengetahui Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
3. Untuk
mengetahui Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
4. Untuk
mengetahui Ajaran para Tokoh-tokoh di Indonesia
5. Untuk
mengetahui Pengaruh Aliran Tasawuf di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Masuknya Tasawuf di Indonesia
Membicarakan sejarah masuknya tasawuf di
Indonesia adalah lebih tepat apabila terlebih dahulu meninjau kembali sekilas
lintas tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Dari gambaran ini akan kita
lihat, apakah masuknya Islam ke Indonesia bersamaan atau sekaligus dengan
tasawuf. Kita dapat mengetahui bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia, hubungan
dagang antara Sumatera, Cina, India, dan Persia, serta negeri Arab sudah
terjalin dengan pesatnya. Hal ini sezaman
dengan Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Lokitawarman. Hubungan
dagang ketika itu adalah lebih bersifat pribadi bila dibandingkan dengan
keadaan yang sekarang. Kontak perdagangan yang lama dan erat itu sadar atau
tidak, telah membawa akibat mengambil unsur- unsur kebudayaan masing- masing
pihak. Oleh karena para pedagang yang datang ini umumnya adalah beragama Budha,
terutama dari India dan Cina, maka agama inilah yang mula- mula berkembang di
Sumatera, khususnya di bagian timur.
Fakta sejarah masuknya Islam ke Indonesia
telah terbukti pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi Islam telah masuk
ke Indonesia dari tanah Arab dan kemudian mengalami kemunduran total lalu
tampak lagi dengan kekuasaan yang penuh berwibawa pada abad ke-11. Kemunculan
kedua ini tampak jelas betapa besar usaha dan dorongan Rajendra Tjola yang
berasal dari India Selatan. Setelah itu Islam terus berkembang, sampai pada
kerajaan Islam yang bersifat nasional pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi.
Dari uraian diatas dengan jelas kita telah
mendapat gambaran, bahwa tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula
masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu
paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H
paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.[1]
B.
Sejarah Perkembangan
Tasawuf di Indonesia
Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia,
tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian
besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Akan tetapi,
belakangan ini sufisme yang melandasi etos kerja mereka itu, kelihatannya
hampir terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja. Tasawuf menjadi unsur
yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula
ditunjuk bagaimana peranan ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan – kerajaan
Islam di Aceh sampai pada masa Wali Sanga di Jawa.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan
Pasai menjadi titik sentral agama
penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara
Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin
Ulakan (w. 1693 M ), murid Abd Rauf Singkel, yang berkenal sebagai Syekh
Tarekat Syattariyah. Ulama- ulama besar yang muncul kemudian di daerah ini,
pada umumnya berasal dari didikan Syekh Ulakan, seperti Tuanku Nan Renceh,
Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Lintau, dan lain- lain. Orang- orang
Minangkabau yang berani merantau, menyebarkan agama Islam ke berbagai daerah di
Sumatera bagian tengah dan selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah
sekitarnya. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai,
terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmoro
yang ketiganya adalah abituren Pasai.
Perkembangan Islam di Jawa selanjutnya
digerakkan oleh Wali Sanga atau Wali Sembilan. Sebutan itu sudah cukup
menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada
derajat “ wali”. Bukti ini diperkuat lagi oleh hikayat Jawa ( babat Jawa
) yang mengisahkan drama pertentangan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga di satu
pihak dan Syekh Siti Jenar di pihak lain, yang merupakan petunjuk kuat
kehidupan tasawuf yang berkembang pada masa itu.
Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih
oleh kerabat elite keraton, secara perlahan- lahan terjadi proses akulturasi
sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya
nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh modal spiritualis nonreligius.
Situasi yang hampir sama juga menimpa dunia pesantren yang disebabkan oleh
invasi sistem pendidikan sekuler yang berasal dari Eropa melalui kolonial
Belanda. Karena faktor- faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan
sufisme di Indonesia secara berangsur- angsur bergeser dari garis lurus yang
diletakkan para sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke
depan daripada sufismenya. Sekalipun demikian, sebenarnya sufisme adalah
semacam “sebuah pohon” yang berakar kuat dan dalam pada Islam, seirama dengan
semangat gerakan pembaruan dalam Islam, dunia sufisme juga mengalami gagasan
pembaruan.[2]
C.
Tokoh-tokoh Tasawuf di
Indonesia
Sejarah Tasawuf di Nusantara telah mengalami
perkembangan cukup dinamis. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam ilustrasi
berikut.
No
|
Tasawuf di Nusantara
|
Tokoh-tokohnya
|
Ajarannya
|
1
|
Di Aceh
|
a. Hamzah Fansuri
|
Tasawuf Wujudiyah (panteisme)
|
b. Syamsudin As-Sumatrani
|
Tasawuf Wujudiyah (panteisme)
|
||
c. Nuruddin Ar-Raniri
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
d. Abd Ar-Rauf As-Sinkli
|
Memadukan antara tasawuf Wujudiyah
dengan Sunni
|
||
2
|
Sumatera Selatan
|
a. Abd Sh-Shamad Al-Palimbani
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
b. Shihabuddin bin Abdullah
Muhammad
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
c. Kemas Fakhruddin
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
d. Muhammad Muhyiddin bin Syekh Shihabuddin
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
e. Kemas Muhammad bin Ahmad
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
f. Muhammad Ma’ruf bin Abdullah
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
3
|
Jawa
|
a. Syekh Siti Jenar
|
Tasawuf Wujudiyah (manunggalin kawulo gusti/panteisme)
|
b. Ahmad Mutamakin
|
Tasawuf wujudiyah (panteisme)
|
||
c. Abd Al-Muhyi Pamijahan
|
Memadukan tasawuf wujudiyah dan
Sunni
|
||
d. Ronggowarsito
|
Tasawuf Jawa
|
||
e. Haji Hasan Musthafa
|
Tasawuf Sunda
|
||
f. Syekh Hasyim Asy’ari
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
g. K.H. Abdul Hamid Pasuruan
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
4
|
Sulawesi
|
a. Syekh Yusuf Al-Makasari
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
b. Muhammad Aidrus
|
Tasawuf teosofi/ falsafi
|
||
c. Haji Abdul Ghani
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
d. Haji Abdul Hadi
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
e. Muhammad Shalih
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
5
|
Kalimantan
|
a. Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
|
Tasawuf wujudiyah (panteisme)
|
b. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
|
Tasawuf Sunni (Akhlaki)
|
||
c. Syekh Abdul Hamid Abulung
|
Tasawuf wujudiyah
(panteisme)
|
||
d. Syekh Achmad Khatib As-Sambasi
|
Tasawuf Sunni
(Akhlaki)[3]
|
1. Tokoh-tokoh Tasawuf di Aceh
a. Hamzah Al- Fansuri
Nama Hamzah Al- Fansuri di Nusantara bagi
kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua
penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al- Fansuri dan muridnya
Syekh Syamsuddin As- Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-
Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang
sangat populer pada zamannya sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran
sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia.
Orang banyak menyanggah Al- Fansuri karena paham
wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang
yang zindiq, sesat, kafir,dan sebagainya. Ada orang yang menyangkanya sebagai
pengikut ajaran Syi’ah. Ada juga yang memercayai bahwa ia bermadzhab Syafi’i di
bidang fiqih. Dalam tasawuf, ia mengikuti Tarekat Qadariyah yang dibangsakan
kepada Syekh Abdul Qadir Jailani.
Syair-syair Syekh Hamzah Fansuri terkumpul
dalam buku- bukunya yang terkenal. Dalam kesusastraan Melayu atau Indonesia,
tercatat buku-buku syairnya, antara lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang,
Syair Pangguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu.
Karangan-karangan Syekh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah, di antaranya
Asrarul ‘Arifin fi Bayaani ‘Ilmis Suluki wat Tauhid, Syarbul ‘Al-Muhtadi,
Ruba’i Hamzah Al-Fansuri.
Hamzah Fansuri sangat
giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat mengatakan
bahwa ia pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan mengembangkan tasawuf di
negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu, dan lain-lain.[4]
b. Nuruddin Ar-Raniri
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota
pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin
Asy-Syafi’i Ar-Raniri. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi
kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya
dalam hal pendidikannya. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian
dilanjutkan ke wilayah Hadhramaut. Ketika masih di negeri asalnya, ia sudah
menguasai banyak ilmu agama. Diantara guru yang paling banyak memengaruhinya
adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban’, seorang guru Tarekat
Rifa’iyah keturunan Hadhramaut Gujarat, India.
Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri
merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di
Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya
adalah memberantas aliran Wujuddiyah yang dianggap sebagai aliran sesat.
Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas
untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujuddiyah ini. Bahkan, lebih jauh,
ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada pemburuan terhadap orang-orang sesat.
Diantara karya-karya yang pernah ditulis
Ar-Raniri adalah:
- Ash-Shirath
Al-Mustaqim (fiqh berbahasa Melayu)
- Bustan
As-Salatin fi Dzikr wa Al-Akhirin (bahasa Melayu)
- Durrat
Al-Fara’idh bi Syarhi Al-‘Aqaid (akidah, bahasa Melayu)
- Syifa’
Al-Qulub (cara-cara berdzikir, bahasa Melayu)[5]
- Syekh
Abdur Rauf As-Sinkili
Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan
mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 ( 1606-1637 M). Nama lengkapnya
adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa ia
merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Ia
sempat menerima bai’at Tarekat Syathiriyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lain,
termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan
dengannya.
Menurut Hasyimi, sebagaimana dikutip Azyumardi
Azra, ayah As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada
akhir abad ke-13, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan tua
di pantai barat Sumatera. Pendidikannya dimulai dari ayahnya di Simpang Kanan (
Sinkili). Kepada ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa arab,
mantiq, filsafat, sastra Arab atau Melayu, dan bahasa Persia. Penddikannya
kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh
Sam Ad-Din As-Sumatrani. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.
Di antara karya-karya As-Sinkili adalah:
1)
Mir’at Ath-Thullab (fiqh
Syafi’i bidang muamalah)
2)
Hikayat Al-Balighah (fiqh
tentang sumpah, kesaksian, peradilan, pembuktian, dan lain-lain)
3)
‘Umdat Al-Muhtajin (tasawuf)
4)
Syams Al-Ma’rifah ( tasawuf
tentang makrifat)
5)
Kifayat Al-Muhtajin (tasawuf)
6)
Daqa’iq Al-Huruf (tasawuf)
7)
Turjuman Al-Mustafidh (tadsir)
8)
Dan lain-lain.[6]
2. Tokoh-tokoh Tasawuf di Sulawesi
a. Syekh
Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf
Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi.
Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M,
yang berarti belum berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar Islam ke
Sulawesi, (yaitu Datuk Ri Bandang dan
kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu karangannya, ia menulis
ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi
Selatan (Ujung Pandang). Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan
bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia
tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Quran
dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari
pengetahuan-pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan,ilmu
badi’, ilmu balaghah, dan ilmu mantiq. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu
ushuluddin, dan ilmu tasawuf. Ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi
pada pribadinya.
Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap
orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Orang yang hidup pada zaman itu lebih
mementingkan mental dan materiil. Ini mungkin bertujuan mengimbangi berbagai
agama dan kepercayan yang memang menjurus ke arah itu.
Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke
Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh
Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup
banyak, bahkan sukar ditemukan ulama yang mempelajari demikian banyak tarekat
serta mengamalkannya sepertinya, baik pada masanya maupun masa kini. Secara
ringkas, tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan sebagai berikut.
a. Tarekat Qadariyah diterima dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh.
- Tarekat
Naqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi
Billah.
- Tarekat
As-Syathariyah diterimanya dari Ibrahim Al-Kurani
Madinah.
- Tarekat
Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin
Ayub Al-Khalwati Al-Quraisyi di Damsyiq. Syekh ini adalah imam di
Masjid Ibnu Arabi.[7]
D.
Ajaran Para
Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
a.
Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran Al- Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn’Arabi
dalam paham wahda wujudnya. Di antara Al- Fansuri yang lain berkaitan
dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu
walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (
madjhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi ( kenyataan batin).
Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi
yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud tuhan bagaikan
lautan dalam yang tidak bergerak,sedangkan alam semesta merupakan gelombang
lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak
ombak yang menimbulkan uap, asap, awan kemudian menjadi dunia gejala. Itulah
yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu pulalah
yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan
(taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai,
dan kembali ke lautan. [8]
b. Ajaran Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri
1.
Tuhan
Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam
ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah SWT.,
sebagaimana yang dimaksud Ibnu Arabi. Akan tetapi, ungkapan itu pada hakikatnya
adalah bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi,
tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah SWT.
2.
Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini
diciptakan Allah SWT.melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi)
Al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga
dapat jatuh pada kemusyrikan.
3. Manusia
Manusia, menurut Ar-Raniri merupakan makhluk
Allah SWT. yang paling sempurna didunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah
Allah SWT. di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Dia merupakan mazzhar
(tempat kenyataan asma dan sifat Allah SWT. paling lengkap dan menyeluruh).
Konsep ihsan kamil, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang digariskan
Ibnu Arabi.
4.
Wujuddiyah
Inti ajaran Wujuddiyah, menurut Ar-Raniri,
berpusat pada Wahdat Al-Wujud, yang disalahartikan kaum Wujuddiyah
dengan arti kemanunggalan Allah SWT. dengan alam. Menurutnya, pendapat Hamzah
Al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran.
Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu,
dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan
jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik
buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya,
manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
5.
Hubungan Syariat dan Hakikat
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut
Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya,
ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah
Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali
melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[9]
c. Ajaran Tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili
As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara
tasawuf dan syariat. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin ,
yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan
alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang
hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun
demikian, antara bayangan (alam) dan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu
terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah SWT.,
seperti yang hidup, yang tau, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan
adalah perbuatan Allah SWT.
Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain bertalian
dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan
Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yaitu
alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam
ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal,
yaitu sudah tercipta haqiqat Muhammadiyah yang potensial bagi
terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabitah’, dan dari sinilah,
alam tercipta. As-Sinkili juga mempunyai pemikiran tentang zikir. Dalam
pandangannya, zikir merupakan usaha untuk melepaskan dari dari sifat lalai dan
lupa.[10]
d. Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
Berbeda dengan kecenderungan sufisme pada
masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan duniawi, Syekh Yusuf mengungkapkan
paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi
dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan
hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.
Meskipun berpegang teguh pada transedensi
Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat
dengan sesuatu. Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah al-ihathah
(peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu
menjelaskan bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi),
suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf
menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud
antara manusia dan Tuhan. Sebab, al-ihathah dan al-ma’iyyah Tuhan
terhadap hamba-Nya adalah secara ilmu. Menurutnya, fana’ adalah hamba
yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, merasa tidak ada, hanya ia
menyadari sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan, dan perwujudan.
Pandangannya tentang Tuhan diatas secara umum mirip dengan Wahdat Al-Wujud dalam
filsafat mistik Ibnu Arabi.
Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia
membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (
orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca
Al-Quran, naik haji, dan berjihad di jalan Allah SWT. Kedua, cara mujahadat
asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan
batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan
batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan
lahir. Ketiga, cara ahl adz-dzikr, yaitu jalan bagi orang yang
telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang
mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin.[11]
E.
Pengaruh
Aliran Tasawuf di Indonesia
Beberapa tokoh di Indonesia, uraian ringkas
itu telah menggambarkan paham dan usaha-usaha mereka di masa lalu di dalam
berbagai lapangan dan keahlian masing-masing dan semuanya ini tentu saja akan
meninggalkan kesan dan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung,
baik secara langsung maupun sementara dalam waktu yang relatif singkat.
Ajaran tasawuf pada kemudiannya adalah
berhubungan erat dengan tarekat. Di Indonesia tarekat-tarekat yang telah
berkembang dan memiliki pengaruh ialah seperti, Tarekat Qadariyah,
Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syattariyah, Tarekat Saziliyah,
Tarekat Khal Awatiyah dan sebagainya.
Jauh sebelum ajaran Islam menyentuh bumi
Indonesia, dikalangan masyarakat sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sikap
hidup kerohanian yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang maha ghaib,
telah bersemi, dan mendarah daging dalam diri setiap bangsa Indonesia.
Dalam keadaan dan kondisi sikap mental seperti
ini, ajaran Islam pun datang bersama dengan paham tasawufnya yang kemudian
berkembang menjadi ajaran tarekat.
Sumber yang dijadikan dalam pengembangan
kesusastraan Jawa baru ini ialah kitab-kitab kuno yang diubah ke dalam bahasa
dan syair Jawa baru. Selain itu juga bersumber kepada ajaran Islam yang telah
lama berpusat di pesantren. Unsur-unsur keislaman kemudian diubah ke dalam
bahasa alam pikiran Jawa serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa. Masyarakat
Jawa mulai menyenangi tasawuf sejak masa kewalian. Dalam pertumbuhan bahasa
Jawa, pengaruh tasawuf ini telah meresap dalam kepustakaan Jawa. Hal ini
dilihat misalnya dalam primbon Sunan Bonang, Suluk Wijil, Suluk Sukarsa, dan
sebagainya.[12]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah disampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa Tasawuf memasuki
Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia. (Abad ke-1 H),
tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan jelas
pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di
Indonesia. Perkembangan Tasawuf di Indonesia tidak lepas dari pengkajian proses
islamisasi. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa
para sufi. Salah satu Tokoh Tasawuf Nusantara yaitu, Tasawuf di Aceh adalah Hamzah
Al- Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdur Rauf
As-Sinkili, dan Syekh Yusuf
Al-Makasari. Ajaran yang disampaikan oleh Tokoh-tokoh Tasawuf diatas
adalah Tasawuf Wujudiyah (panteisme), Tasawuf Sunni (Akhlaki), serta perpaduan antara Tasawuf Wujudiyah
(panteisme) dan Tasawuf Sunni (Akhlaki). Jauh sebelum ajaran Islam menyentuh bumi
Indonesia, dikalangan masyarakat sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sikap
hidup kerohanian yang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang maha ghaib,
telah bersemi, dan mendarah daging dalam diri setiap bangsa Indonesia. Dalam
keadaan dan kondisi sikap mental seperti ini, ajaran Islam pun datang bersama
dengan paham tasawufnya yang kemudian berkembang menjadi ajaran tarekat.
B.
Saran
Berdasarkan Pembahasan diatas,
diharapkan kepada para pembaca dapat mengambil pelajaran terhadap ajaran para
Tokoh Tasawuf untuk kedepannya mengetahui sejarah masuknya islam ke Indonesia.
Diharapkan juga kepada para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan –
kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Ahmad Bangun
dan Rayani Hanum Siregar. 2015. Akhlak
Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers
Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies. Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia
[1] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf.
(Jakarta : Rajawali Pers,2015) Hlm. 63-65
[2] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. ( Bandung : Pustaka
Setia, 2010,) Hlm. 337-339
[3] Syamsun Ni’am. Tasawuf Studies.( Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media, 2014) Hlm. 191-193
[5] Ibid,
Hlm. 344-345
[6] Ibid,
Hlm. 346-348
[7] Ibid,
Hlm. 349-350
[8] Ibid,
Hlm. 342-343
[9] Ibid,
Hlm. 345-346
[10] Ibid,
Hlm. 348-349
[11] Ibid, Hlm. 351-352
[12] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar.Akhlak Tasawuf. (
Jakarta : Rajawali Pers, 2015) Hlm. 70-71
No comments:
Post a Comment